Ekosistem Perusahaan Rintisan Indonesia

 

Ekosistem perusahaan rintisan Indonesia memiliki daya saing dan mendapatkan tempat di kawasan Asia Tenggara serta Asia. Indonesia memiliki potensi pasar yang besar. Dengan 4 perusahaan rintisan (Start up)  yang telah menjadi unicorn, Gojek telah menjadi decacorn dan akan segera disusul oleh Tokopedia yang kemungkinan akan menyandang status ini juga. Traveloka mendapatkan predikat kings meski belakangan mendapatkan tantangan dari Tiket.com. Baik Gojek, Tokopedia, Traveloka dan Bukalapak telah menempatkan ekosistem perusahaan rintisan Indonesia ke peta global. Indonesia berkepentingan memperkuat ekosistem mengingat besarnya penduduk sebagai pasar dan tren perkembangan yang diproyeksikan kurang lebih senilai 100 miliar dolar AS pada 2025. 

Ilustrasi: https://www.techinasia.com/


Salah satu keunggulan ekosistem perusahaan rintisan Indonesia adalah lokasi yang berada di kawasan perkotaan Jabodetabek yang dihuni 32 juta penduduk. Tiga unicorn dan satu decacorn memilih berlokasi di ibukota negara Indonesia, yaitu Jakarta. Jakarta adalah hub utama kawasan Jabodetabek, sebuah kawasan perkotaan dan aglomerasi terbesar di Indonesia. Konsentrasi keberadaan perusahaan rintisan di kawasan ini dapat dipahami karena kemudahan infrastruktur teknologi informasi dan komunikasi (ICT), akses ke pasar, bakat (talents), dan modal. 

Aglomerasi Jabodetabek terjadi karena Jakarta sebagai ibukota utama di Jabodetabek menjalankan beragam fungsi mulai dari pusat pemerintahan, ekonomi, pendidikan dan teknologi, sosial, budaya dan lain-lain. Fungsi utama Jakarta sebagai pusat jasa dan perdagangan menentukan karena merupakan lokasi kantor-kantor pusat baik pemerintah dan swasta dan membuka peluang memaksimalkan pengalihan aktivitas berbasis non digital menuju digital. Kawasan perkotaan lainnya yang sama-sama memiliki keunggulan aglomerasi adalah Bandung Greater Area dan Surabaya Greater Area. Kedua kawasan ini seharusnya dapat dikembangkan menjadi ekosistem baru untuk memunculkan perusahaan rintisan skala global. Sebagai catatan, Surabaya yang merupakan ibukota Provinsi Jawa Timur telah menjadi tuan rumah kedua terbesar bagi perusahaan rintisan, disusul Bandung, ibukota Provinsi Jawa Barat di peringkat ketiga meski selisih jumlah kedua kawasan ini dengan Jabodetabek masih sangat besar. 

Selain menjadi kekuatan dan peluang, konsentrasi lokasi perusahaan rintisan dapat menjadi ancaman. Jumlah perusahaan rintisan di kawasan Jabodetabek jika digabungkan dengan perusahaan rintisan di Jawa Timur, Jawa Barat, Jawa Tengah, Bali dan Nusa Tenggara Barat melampaui angka 80%. Artinya, terdapat kesenjangan antara kawasan Jabodetabek dengan seluruh Indonesia, dan terdapat kesenjangan antara Jawa dan luar Jawa. Konsentrasi perusahaan rintisan di pulau Jawa, khususnya Jabodetabek, menciptakan kesenjangan yang dalam dengan non-Jawa. Kesenjangan tersebut dapat membesar dan berpotensi mengulangi kesenjangan ekonomi Jawa dan luar Jawa yang selama ini terjadi. Sementara itu, pintu ancaman terbuka karena memudahkan pemain yang berasal negara lain masuk ke wilayah Indonesia dengan tingkat penetrasi dan persaingan di wilayah yang kurang terjangkau oleh perusahaan rintisan asal Indonesia. Misalnya, Gojek harus bertarung dengan Grab di kota-kota non-Jawa di Indonesia. Sementara Tokopedia dan Bukalapak berebut pelanggan dengan Shopee dan Lazada. 

Empat perusahaan besutan Indonesia menggeluti 3 sektor, yaitu e-commerce (Tokopedia dan Bukalapak), on-demand dan lainnya (Gojek), serta perjalanan (Traveloka). E-commerce adalah sektor yang berkembang pesat di Gelombang Kedua ekonomi digital dengan para pelopor yang popular seperti eBay dan  Amazon. Sedangkan Gojek adalah pemain yang berkembang di Gelombang Ketiga seperti halnya Uber. Perusahaan rintisan perjalanan seperti Traveloka lebih dahulu hadir di era digital karena industri pariwisata, perjalanan, dan hotel telah lebih dahulu memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi (ICT). Keempat perusahaan pelopor tersebut harus menjadi penggerak sektor digital Indonesia dan mengembangkan model bisnis baru. 

Kesamaan yang dimiliki keempat perusahaan tersebut adalah merupakan perusahaan yang berorientasi kepada konsumen dan menggeluti sub sektor vertikal. Tokopedia, Bukalapak, dan Traveloka melayani jual beli aktivitas yang sudah berlangsung lama di sektor perdagangan. Gojek melayani transportasi on demand, yang juga bukan merupakan sektor baru karena diselenggarakan secara tradisional tanpa menggunakan aplikasi. Belakangan Gojek mengembangkan beragam aplikasi yang membuka kesempatan masuk ke dalam sub sektor lain seperti pengantaran makanan, pembayaran, dan lainnya. Indonesia belum memiliki unicorn yang berorientasi perusahaan di mana berbagai kesempatan baru dapat digali dan dimanfaatkan untuk mengembangkan perusahaan rintisan sub sektor lain. Indonesia harus memanfaatkan kekosongan ini mengingat tren sub sektor berlangsung dalam kurun waktu tertentu yang akan menurun dan digantikan oleh sub sektor lain atau sub sektor yang lebih baru. 

Secara global, berdasarkan laporan Startup Genome 2018, sektor- sektor yang digeluti oleh unicorn Indonesia seperti e-commerce tengah menurun. Akan tetapi situasi tersebut bersifat umum dan global serta dapat saja berbeda dengan situasi di kawasan tertentu. Untuk kawasan Asia Tenggara, e-commerce masih diharapkan menjadi penggerak ekonomi digital. Harapan tersebut semakin tinggi melihat pesatnya pertumbuhan internet dan pemakai telpon seluler. Dan yang tak kalah pentingnya kawasan Asia Tenggara adalah pasar dengan konsumen yang besar. Beberapa perusahaan rintisan di sektor edtech sudah mulai menonjol seperti Ruang Guru dan Zenius. Keduanya tidak hanya memberikan layanan belajar secara daring, tetapi juga mulai mempertajam konsep belajar dan masuk ke beragam bidang. Edtech membuka ruang belajar ketiga, dari ruang belajar pertama secara formal di sekolah dan ruang belajar kedua secara informal di non sekolah (bimbingan belajar dan rumah). Ruang belajar ketiga adalah ruang belajar virtual dan dapat menjadi ancaman bagi ruang belajar kedua jika tidak memanfaatkan fasilitas ruang belajar ketiga ke dalam model bisnisnya. Perusahaan-perusahaan tersebut telah menarik beragam sumber daya ke ekosistem nasional. Tercatat 2 perusahaan lain yang dianggap akan menjadi unicorn baru, yaitu Ruang Guru (Edtech) dan satu perusahaan yang bergerak di sektor AI. 

Sub sektor lain yang tengah berkembang dan perlu mendapatkan perhatian adalah fintech. Berdasarkan data Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sampai dengan 15 Mei 2019 terdapat 113 fintech yang terdaftar. Laporan survei PwC (2018), tanpa membedakan jenis fintech seperti pinjaman peer to peer, blockchain, dan otomatisasi proses, responden mengakui dengan tegas bahwa teknologi adalah pengubah permainan (game changer) di industri keuangan. Terlepas dari pandangan pengaruh fintech selama 5 tahun ke depan, investasi fintech masih relatif rendah dibandingkan dengan investasi teknologi untuk bank-bank Indonesia pada tahun 2018. Hanya 22% bankir yang mendaftarkan fintech di 3 besar area mereka untuk investasi di tahun mendatang. Sub sektor fintech masih terbuka luas sejalan dengan penyiapan kelembagaannya. 

Pada tahun 2018, IDC FinTech Rankings merilis prediksi tentang perusahan fintech yang akan tumbuh pesat setelah di tahun 2017 merilis 10 perusahaan fintech dengan pertumbuhan tercepat. IDC menjelaskan parameter penilaian yang dipakai dan membagi perusahaan rintisan fintech dalam beberapa kategori. Parameter yang digunakan adalah potensi pengguna, model dan proses bisnis, jenis dan kemudahan penggunaan, persaingan dengan perusahaan lain, valuasi perusahaan, manajemen dan tim, budaya perusahaan, teknologi dan perkiraan keuntungan. Kategori fintech dan perusahaan dibagi menjadi: (1) fintech berbasis pembayaran seperti GoPay, Midtrans, Xendit, Doku, T-Cash; (2) fintech berbasis pinjaman seperti Modalku, Akseleran, Investree, UangTeman; (3) fintech berbasis marketplace seperti AturDuit; (4) fintech berbasis manajemen keuangan seperti Finansialku; (5) fintech berbasis solusi perusahaan seperti Jojonomic; dan (6) fintech berbasis software akuntansi seperti Jurnal. 

Tantangan lain adalah keterbatasan jumlah perusahaan rintisan yang bergerak dalam pemanfaatan sains dan teknologi yang lebih maju. Belum ada data yang cukup menonjol terkait perusahaan rintisan yang bergerak di sub sektor AI, cybersecurity, AMT dan robotic, kesehatan, cleantech, dan lainnya. Perusahaan yang bergerak di sub sektor tersebut pernah dipublikasikan dalam jumlah terbatas, misalnya di sub sektor agroteknologi ada TaniHub dan iGrow sebagai 2 perusahaan yang sering diberitakan. TaniHub sendiri adalah e-commerce sektor pertanian menyebutnya dirinya sebagai perusahaan rintisan pertanian. Kedua perusahaan tersebut tidak sepenuhnya melakukan pengembangan teknologi pertanian karena mereka lebih memanfaatkan kemajuan teknologi informasi dan komunikasi untuk sektor pertanian. 


*Diikhtisarkan dari pembahasan tentang Ekonomi Digital di Asia Tenggara dalam buku Ekosistem Inovasi dan Kewirausahaan Rintisan (2020) karya M Rahmat Yananda dan Ummi Salamah. Pembaca yang berminat membaca buku tersebut, dapat memesannya di sini:  

https://tokopedia.link/lW52tQJgLcb








 

Comments

Popular Posts