Entreprenur Perkotaan (Urbanpreneur)



"Anda telah menciptakan istilah baru; urbanpreneur. Mengapa dan bagaimana tepatnya seorang urbanprenuer bisa berbeda dengan entreprenur pada umumnya?" tanya Richard Florida, profesor studi  perkotaan University of Toronto, kepada Boyd Cohen, penulis buku The Emergence of the Urban Entrepreneur, sebagaimana disiarkan blomberg.com (Oktober 2016). Profesor bidang entrepreneurship and sustainability EADA Business School Barcelona itu menjelaskan, bahwa entreprenur dapat tinggal di mana saja di dunia dan fokus pada industri apa pun, tapi urbanprenur menanamkan diri di lingkungan sosio-ekologis mereka—kota besar dan kecil—guna menancapkan pengaruhnya. Mereka memanfaatkan apa yang ditawarkan kota sehingga mereka dapat berkolaborasi dan berinovasi dalam komunitas mereka di ruang urban itu.

sumber ilustrasi: www.urbanpreneurs.be


Bagi Cohen, sebagaimana ia tegaskan dalam buku yang ditulisnya bersama Pablo Munoz, para urbanprenur memanfaatkan praktik Sharing Economy (ekonomi berbagi)  yang memang bagian dari fenomena perkotaan. Kepadatan ruang kota, ditambah dengan akses ke seluler dan web, membantu praktik berbagi dengan sesama (peers) secara seketika. Sharing Economy berdampak besar pada kota dan kewirausahaan perkotaan seperti car-sharing dan bike-sharing. Co-working dan fab labs adalah sumber daya penting bagi kemandirian urbanprenur di fase permulaan. Tahap awal peluang kewirausahaan bagi entreprenur perkotaan ada dalam proses sharing, berikut dampak sosial-ekonomi dan ekologis dari beragam kegiatan sharing di berbagai kota di dunia.

Dalam catatan Richard Florida, pada kenyataannya, perusahaan rintisan  (Start up) dan industri berbasis teknologi tinggi memang telah berwarna urban. Ia mencontohkan, kota San Francisco saat ini memiliki lebih banyak perusahaan rintisan berteknologi tinggi daripada di pinggiran Silicon Valley.  Kawasan perkotaan dari Lower Manhattan hingga pusat kota London, Berlin, dan Toronto telah menjadi zona wirausaha baru. Selain itu, perubahan lain yang perlu kita lihat adalah pergeseran orientasi dari perusahaan rintisan yang semula mengandalkan modal ventura dan dominasi global, urbanprenur justru datang dalam berbagai bentuk dan ukuran, dan tidak semuanya cocok dengan orientasi tersebut. Banyak wirausahawan muda yang bercita-cita hendak memberi dampak pada komunitas lokal mereka, lebih dari sekadar menjadi Bill Gates atau Mark Zuckerberg di era berikutnya.

Bila menggunakan cara pandang Cohen dan Munoz (2016), entreprenur perkotaan memiliki banyak kesamaan dengan entreprenur sosial dan keberlanjutan, khususnya dalam hal gagasan dan dampak yang lebih luas. Bagi keduanya, entreprenur perkotaan unik karena mereka melekat pada tempat, merespons publik maupun privat, dan memanfaatkan model bisnis kolaboratif.  Misalnya kehadiran Uber dan Grab, menjadi solusi bagi masalah transportasi perkotaan. Begitu juga dengan Airbnb, yang memudahkan penyelesaian masalah tempat tinggal. Para pendiri perusahaan-perusahaan rintisan semacam itu dapat disebut sebagai entreprenur sosial. 

Entreprenur sosial adalah aktor eksternal yang memindai, mengevaluasi, dan membuat penilaian tentang kondisi lingkungan sosial dan alam sekitarnya, yang kemudian menguraikan solusi yang relevan. Mereka bertindak sebagai problem solver dengan cara yang berbeda sejalan dengan pemahaman atas masalah. Masalah dan tantangan yang saat ini dihadapi kota-kota di seluruh dunia menjadi sumber daya yang melimpah berupa peluang bagi orang-orang yang berorientasi sosial, individu-individu urban,  yang secara komersial membahas persoalan seperti migrasi, kelebihan penduduk, lalu lintas, persediaan makanan, perumahan, transportasi, pekerjaan, dan pendidikan. Tantangan kota agak unik, mengingat relevansi kehidupan sosial dan wilayah tersebut dalam membentuk pembangunan. Tantangan itu membutuhkan kerja kolektif banyak aktor guna mencapai tujuan bersama. 

Dalam konteks ini, mazhab yang muncul seperti  collaborative public management, collaborative governance, dan public entrepreneurship menekankan peran banyak aktor dalam mengelola proses tata kelola kota, termasuk peningkatan infrastruktur dan pemenuhan kesejahteraan. Aliran-aliran tersebut juga menyoroti peran individu tertentu yang mampu menyelesaikan masalah kota dengan bertindak atas dasar peluang. Dengan begitu, pendistribusian barang publik (public good) untuk warga tidak lagi menjadi tanggung jawab eksklusif dari satu aktor (pemerintah) tetapi hasil dari kombinasi upaya banyak aktor. Untuk itu, Cohen memperkenalkan Urbanpreneur Spiral yang menyoroti bagaimana urbanisasi, kolaborasi, dan demokratisasi mengubah fenomena kewirausahaan dengan cara yang penting. 




Studi Cohen dan Munoz memetakan  kewirausahaan perkotaan dalam 4 ciri khas, untuk membedakannya dengan tipe kewirausahaan yang lain. Pertama, kolaborasi 4P (public, private, dan people partnership). Kerangka kerja 3P (public-private partnership) diperluas dengan menempatkan entreprenur sebagai pusat yang mengorkestrasikan sistem, berfokus pada keterlibatan dan peningkatkan kesejahteraan dengan menangkap peluang usaha. Jika kerangka kerja model 3P mengatur inisiasi interaksi berdasarkan kontrak yang bertujuan meningkatkan layanan publik atau pembangunan infrastruktur, model 4P mendorong kemunculan interaksi melalui proses yang efektif dalam mentransformasikan tantangan kota menjadi peluang kewirausahaan. 

Kedua, cara entreprenur perkotaan mendapatkan peluang usaha berbeda dengan entreprenur tradisional yang mengisi kekosongan dengan logika pasar karena kegagalan pasar itu sendiri. Para entreprenur perkotaan cenderung mengobservasi sistem secara menyeluruh (kegagalan publik dan privat) dan menyediakan solusi kewirausahaan untuk menjembatani jurang antara ketersediaan barang dan layanan dari struktur publik dan privat, untuk kesejahteraan warga kota. Entreprenur perkotaan bergerak melampaui batas pasar dan mengembangkan solusi bisnis yang dapat menjungkirbalikkan aturan baku ekonomi formal dan fleksibilitas penawaran ekonomi informal di mana ekonomi formal membutuhkan legalitas untuk berfungsi, sedangkan ekonomi informal berlangsung di luar institusi formal, seperti layanan Airbnb yang seringkali dipertanyakan legalitasnya. 

Ketiga, keragaman konteks kewirausahaan perkotaan berkisar dari harapan peningkatan kondisi kehidupan di lingkungan sampai keinginan untuk meningkatkan kehidupan di kota. Seorang entreprenur fokus kepada isu lokal, tapi bergerak secara global. Keempat, strategi kewirausahaan perkotaan melibatkan interaksi kompleks antara sektor publik dan sektor privat, perusahaan dan warga kota, yang digerakkan oleh urbanprenur. Setidaknya ada 3 tipe menonjol dari 4P sebagai strategi kewirausahaan perkotaan, yaitu: project- based 4P strategy, venture-based 4P strategy, dan plaform-based 4P strategy. 

Project-based strategy berbasis organisasi satuan tugas yang bersifat sementara dan bekerja dengan tujuan dan cakupan terbatas. Organisasi ini dapat dibubarkan ketika tujuan tercapai seperti yang terjadi pada Changemakers di Manchester. Changemakers membangun organisasi yang dipimpin oleh komunitas untuk masalah keadilan sosial, ekonomi, politik dan lingkungan. Banyak pihak yang merasa lemah kemudian dapat diberdayakan. Changemakers bermitra dengan organisasi donor dan Gereja untuk memperkenalkan proyek dengan anggaran partisipatif di tingkat lingkungan. New Venture-based strategy berbasis pada pembentukan koalisi yang merupakan koordinasi sementara. Bentuk kolaborasi ini terjadi saat strategi dan aksi dua atau lebih organisasi bekerja bersama guna mencapai tujuan. Kota Wina memiliki 100 proyek aktif terkait kota cerdas (Smart City). Salah satunya adalah Solar Citizen, sebagai usaha perkotaan tingkatan meso. Citizen Solar Power Plant adalah projek kolaborasi Wien Energie dengan kota Wina. Dalam bentuk crowdfunding, Citizen Solar memungkinkan penduduk kota melakukan investasi skala mikro untuk energi terbarukan. 

Platform-based strategy adalah pembentukan aliansi semi permanen dalam arti luas. Bentuk ini muncul dari koordinasi reguler ketika banyak organisasi sepakat terlibat dalam aktivitas terbatas untuk mencapai tujuan tertentu melalui pengaturan formal. Berbeda dengan usaha tingkat kota, platform kewirausahaan perkotaan melibatkan multi-aktor yang berupaya keras mengatasi masalah perkotaan yang terjadi di banyak kota pada waktu bersamaan. Usaha tersebut menjadi lahan subur kewirausahaan sipil tingkatan mikro dan meso untuk beroperasi dan berkembang. Kota Kansas mendapatkan perhatian atas dukungannya kepada inovasi terbuka dan inklusi digital. Perusahaan rintisan asal Kansas Neigbor.ly menjalankan platform crowdfunding sipil pertama di dunia. Neighbor.ly berdiri pada 2012 dan diterima menjadi akselerator perusahaan yang dinamakan Point of Light  bersama dengan 9 perusahaan rintisan sipil lainnya. 

Dengan begitu, urbanpreneurship dapat dikatakan sebagai paradigma baru kewirausahaan rintisan yang digerakkan oleh praktik Sharing Economy (ekonomi berbagi) yang sesungguhnya juga masih memicu banyak perdebatan. Namun, studi Cohen dan Munoz menunjukkan bahwa urbanprenur berbasis perusahan rintisan (Start up) telah menjamur sejak dari Airbnb  di San Fransisco (AS), Changemakers di Manchester (UK), CityCamp di Buenos Aires (Argentina), Citymart  di Barcelona (Spanyol), Elemental di Santiago (Cile), hingga Tecnology Quotient di Singapura.




* Diikhtisarkan dari pembahasan tentang Entreprenur Perkotaan dalam buku  Ekosistem Inovasi dan Kewirausahaan Rintisan (2020), karya M Rahmat Yananda dan Ummi Salamah. Pembaca yang berminat membaca buku tersebut, dapat memesannya di sini:  https://tokopedia.link/lW52tQJgLcb






 




   

 


Comments

Popular Posts