Inovasi Teknologi dan Praktik Ekonomi Berbagi (Sharing Economy)
E-commerce merupakan praktik ekonomi yang memanfaatkan ICT (Information Communication Technology) dan sering diasosiasikan dengan konsep sharing economy (ekonomi berbagi). Sundararajan (2016) menyamakan istilah sharing economy dengan crowd-based capitalism. Menurutnya, sebagai sebuah sistem ekonomi, sharing economy setidaknya memiliki 5 karakteristik, di antaranya dapat menciptakan pasar yang memungkinkan pertukaran barang-barang dan memunculkan jasa-jasa baru, lalu menghasilkan potensi yang lebih tinggi untuk aktivitas ekonomi. Sharing economy juga memiliki dampak modal yang kuat, karena sistem ini membuka kesempatan-kesempatan baru untuk banyak hal, mulai dari aset dan keterampilan hingga waktu dan uang yang digunakan secara optimal dan lebih dekat dengan kapasitas sebenarnya. Ia melakukan penyediaan modal dan tenaga kerja melalui jaringan berbasis orang banyak (crowd-based), karena itu sharing economy lebih mengandalkan individu-individu ketimbang institusi yang tersentralisasi dan hierarkis seperti korporasi atau negara. Pertukaran dilakukan dengan diperantarai marketplace dan tidak melalui pihak ketiga.
Selain itu, sharing economy juga mengaburkan batas antara pekerja personal dengan pekerja profesional. Sharing economy juga memungkinkan tersedianya pekerja dan jasa komersial untuk aktivitas peer to peer yang biasanya dianggap personal, misalnya memberikan tumpangan atau uang pinjaman. Dalam sistem ini, batas antara pekerja penuh waktu dengan pekerja harian, pekerja bebas dengan pekerja terikat, kerja dan kesenangan, tidak terlalu tegas alias kabur. Banyak pekerjaan penuh waktu dalam sharing economy digantikan oleh pekerjaan kontrak dengan fitur yang bervariasi berdasarkan komitmen, rincian tugas, ketergantungan ekonomi, dan kewirausahaan.
Istilah sharing economy biasanya dekat dengan istilah collaborative consumption, peer to peer economy, gig economy, uber economy, yang secara keseluruhan muncul sejak internet menjadi infrastruktur penting yang menopang berbagai aktivitas. Sebagian pakar berpendapat bahwa ekonomi jenis ini akan menjadi paradigma ekonomi baru dan mendisrupsi paradigma yang sedang berjalan. Sebab, kehadiran ICT akan mengurangi biaya produksi, meningkatkan partisipasi (aksesibilitas), mengurangi kebutuhan akan kepemilikan, memaksimalkan pemakaian barang, dan semacamnya.
Oleh karena terbilang baru, sistem sharing economy ini menimbulkan perdebatan. Sebagian pakar menimbang sharing economy sebagai paradigma baru yang akan memberikan suatu kesempatan ekonomi yang lebih baik kepada lebih banyak pihak yang terlibat. Sharing economy juga sejalan dengan tuntutan keselarasan ekonomi dengan lingkungan. Sebaliknya, sebagian pakar lain berpendapat, sharing economy hanyalah kelanjutan dari paradigma ekonomi kapitalistik, dan hanya akan menguntungkan para pemain dominan di sektor teknologi, khususnya ICT. Sampai saat ini, kedua pandangan tersebut memang dapat dibuktikan. Sharing economy membawa kebaikan bersamaan dengan masalah-masalah yang dimunculkannya.
Meski demikian, terlepas dari perdebatan tersebut, kemunculan sharing economy sebagaimana kemunculan ekonomi sebelumnya, terjadi bersamaan dengan evolusi teknologi yang mengubah cara pandang, prinsip, dan perilaku ekonomi. Sundararajan (2016) mencatat 3 kekuatan fundamental teknologi digital yang berbeda dengan teknologi-teknologi sebelumnya, yang menurutnya dapat dipahami dengan istilah the general purpose. Pertama, informasi yang terdigitalisasi menjadikan hal-ihwal dalam ranah ekonomi dan sosial juga berubah menjadi digital. Kedua, pertumbuhan hardware, bandwidth, storage dan miniaturisasi perangkat digital tidak hanya terjadi secara eksponensial, tetapi juga berkelanjutan. Dan ketiga, programabilitas dan modularitas dengan memanfaatkan perangkat lunak termutakhir dapat dilakukan dengan hanya menambahkan dan meningkatkan kemampuan perangkat keras seperti komputer, telpon pintar, dan tablet.
Sementara itu, Michael Munger (2018) dalam Tomorrow 3.0: Transaction Cost and Sharing Economy (2018), terlepas dari perdebatan posisi sharing economy, sistem tersebut dapat diidentifikasi sebagai kewirausahaan yang mengaplikasikan pengurangan biaya transaksi dibandingkan pengurangan biaya produksi, para pelakunya bekerja melalui platform perangkat lunak baru yang beroperasi dalam perangkat pintar yang portabel, dan tersambung dengan wifi atau jaringan 2G-5G yang terinterkoneksi. Identifikasi Munger semakin memperjelas gejala yang terjadi dalam kemajuan teknologi internet dan web yang dimanfaatkan untuk e-commerce. Teknologi menciptakan efektifitas dan efisiensi dalam aktivitas ekonomi yang menjadi sumber menurunnya biaya transaksi. Pemahaman Munger relevan dengan definisi sharing economy yang dirumuskan oleh Frenken (2017), dalam Political Economies and Environmental Futures for the Sharing Economy, bahwa sistem ini melibatkan praktik-praktik di mana konsumen saling berbagi atau bertukar akses dan aset yang bersifat sementara. Aset yang dimaksud adalah aset-aset fisik yang tidak terpakai. Platform digital memugkinkan adanya proses berbagi atau bertukar dengan melibatkan 3 hal, yaitu: bersifat peer to peer, mementingkan akses daripada kepemilikan, dan model bisnis sirkular. Dengan demikian, sharing economy terbentuk dari tiga bagian, yaitu: (1) pertukaran yang bersifat peer to peer atau antara konsumen dengan konsumen lain; (2) melibatkan akses sementara yaitu peminjaman dan penyewaan; dan (3) memanfaatkan ulang aset-aset yang tidak terpakai.
Dalam sharing economy, terjadi interaksi antara konsumen dengan konsumen (C2C). Konsumen menawarkan akses kepada pihak lain untuk barang-barang konsumsi, yang bertindak seperti agen penyewaan skala kecil, atau konsumen berperan sebagai produsen jasa. Ketika penyewaan tersebut ditransaksikan melalui platform dan meminta imbalan, maka terjadilah apa yang disebut peer to peer economy itu. Konsumen juga memiliki lebih banyak opsi untuk memperoleh akses yang tidak melulu harus berdasarkan kepemilikan. Saat ini, ada kecenderungan pengurangan kepemilikan mobil di kelompok konsumen usia muda karena meluasnya akses untuk berbagi kendaraan seperti layanan platform Relayrides, berbagi tujuan yang disediakan oleh BlaBlaCar, penyewaan murah seperti yang dilakukan oleh Zipcar, Car2Go, Sixt, atau taksi panggilan seperti Uber, Lift, dan Didi. Praktik ekonomi seperti ini merupakan bentuk dari model bisnis pemakaian sumber daya yang lebih efisien. Semakin banyak pihak yang menggunakan satu barang (bersama atau bergantian), lebih sedikit barang yang diperlukan untuk kebutuhan yang sama.
Bila tiga unsur pokok dari praktik "ekonomi berbagi" (sharing economy) di atas berinteraksi dan berkelindan, setidaknya ada tiga jenis aktivitas yang dapat dinamai. Pertama, jika aktivitas berbagi (sharing) dilakukan berdasarkan penyewaan barang dari suatu perusahaan (B2C) dan bukan dari konsumen ke konsumen (C2C), maka aktivitas itu dapat disebut sebagai ekonomi layanan produk (product-service economy). Dalam hal ini, konsumen mendapatkan akses ke produk sementara kepemilikan tetap berada di tangan perusahaan. Contoh tipe ini adalah platform penyewaan mobil Hertz dan Zipcar. Kedua, jika konsumen menyerahkan kepemilikan suatu barang (bekas pakai) kepada konsumen lain, maka aktivitas itu dapat disebut sebagai ekonomi tangan kedua (second-hand economy). Yang terjadi di sini adalah peralihan kepemilikan barang, dan bukan peminjaman akses yang bersifat sementara. Contoh platform-nya adalah eBay. Tipe platform-nya adalah interseksi dari peer to peer dengan pemanfaatan aset yang tidak terpakai. Ketiga, jika seseorang dalam durasi tertentu menawarkan keterampilan yang dimilikinya melalui platform (Matching), maka aktivitas tersebut dapat disebut sebagai ekonomi berbasis permintaan (on-demand economy atau gig economy). Contoh platform-nya adalah HomeAdvisor, Helping, Uber, Lyft dan Didi.
Praktik ekonomi berbagi (sharing economy) dalam berbagai pola, yang kini diklaim sebagai bagian dari ekosistem perusahaan rintisan (Start up) di berbagai sektor (e-commerce, layanan jasa transportasi daring, layanan berbagi lahan parkir, dan semacamnya), sepintas lalu tampak seperti etos kegotong-royongan dalam masyarakat komunal, sebagaimana lingkungan keseharian kita di Indonesia, namun tentu diperlukan riset yang mendalam untuk membuktikannya. Perilaku ekonomi yang tidak semata-mata terpusat di jantung korporasi besar (sebagaimana ekosistem ekonomi kapitalistik), setidaknya akan lebih mudah beradaptasi dengan basis kultural masyarakat Indonesia, di mana etos saling membantu, saling mengisi, saling meminjamkan, yang telah lama menjadi napas dalam hidup bersama...
*profil dan pemahaman mendasar tentang Sharing Economy diikhtisarkan dari perbincangan tentang Paradigma Ekonomi Era Teknologi Digital dalam buku Ekosistem Inovasi dan Kewirausahaan Rintisan (2020) karya M Rahmat Yananda dan Ummi Salamah. Pembaca yang berminat membaca buku tersebut secara lebih intens, dapat melakukan pemesanan di sini:
Comments
Post a Comment