Potensi Ekonomi Digital Kawasan Asia Tenggara

Potensi ekonomi digital di Asia Tenggara menurut Google dan Temasek bernilai 50 miliar dolar AS dan diperkirakan dapat tumbuh hingga 200 miliar dolar AS di tahun 2025 di sektor media dan game daring, aplikasi transportasi, penerbangan dan hotel, e-commerce untuk pakaian, elektronik, makanan, dan grosir. Proyeksi ekonomi digital dan ledakan pemakaian telpon seluler akan melahirkan entreprenur digital baru dan perusahaan rintisan lokal di semua negara ASEAN. Indonesia, Singapura, dan Vietnam memiliki perusahaan rintisan yang mayoritas bergerak di sektor e-commerce. Empat perusahaan rintisan di ASEAN, yaitu Garena, Lazada, Grab, dan Razer divaluasi senilai 1 miliar dolar AS. 



Ilustrasi: https://amt-it.com/wp-content/uploads/2020/01/influencive


Kemajuan 4 tipe teknologi (internet seluler, cloud, IoT dan big data) yang berkelindan menggerakkan revolusi digital berpengaruh pada adopsi keempat teknologi tersebut. Di Indonesia, internet seluler dimanfaatkan oleh 55 juta orang pada tahun 2014 dan meningkat menjadi 67 juta orang di tahun 2015. Pengguna terbanyak (75%) memanfaatkan telpon seluler. Penerimaan penyedia jasa teknologi cloud dan penerimaan vendor meningkat dari 269 juta dolar AS di tahun 2014 naik menjadi 364 juta dolar AS di tahun 2015. IoT berdasarkan perangkat yang terkoneksi meningkat dari 32 juta unit di tahun 2014 naik menjadi 39 juta unit di tahun 2015. Sedangkan penggunaan big data dan analitik berdasarkan trafik protokol internet tiap bulannya meningkat dari 277 di tahun 2014 menjadi 448 ditahun 2015 (Dasdkk, 2016). 

Walaupun bergerak maju mengadopsi teknologi tersebut, namun perjalanan Indonesia masih jauh. Mengacu pada 20 negara (Thailand, Malaysia, Singapura, Filipina, India, Cina, Hongkong, Korea Selatan, Jepang, Rusia, Autralia, Brazil, Italia, Spanyol, Inggris Raya, Prancis, Jerman, Amerika Serikat, dan Kanada) McKinsey (2016) menemukan bahwa Indonesia masih tertinggal dalam memanfaatkan potensi teknologi digital. Beberapa halangan seperti akses internet yang terjangkau (dari harga tidak mahal, bahkan urutan ke-2 termurah setelah India), tetapi kualitas secara rata-rata buruk. Kualitas pita lebar (bandwidth) yang relatif buruk dibandingkan negara lain menyebabkan Indonesia berada di posisi 3  terbawah, hanya di atas Cina dan India. Sedangkan kecepatan akses internet di Indonesia juga tidak memadai, berada di posisi ke-3 dari bawah, hanya di atas Filipina dan India. 

Halangan tersebut tidak lepas dari kompleksitas, ukuran, dan geografi Indonesia. Indonesia harus meningkatkan infrastruktur pita lebar (bandwidth) untuk koneksi internasional mengingat tingginya pemakaian situs seperti Facebook dan Google. Kapasitas Indonesia masih terbatas (0,01 mbps) dibandingkan dengan Singapura (2,74 mbps). Konektivitas terkonsentrasi melalui jaringan Singapura sehingga harga menjadi kurang kompetitif. 40% titik pendaratan terkonsentrasi di Batam, Dumai, dan Jakarta. Trafik data di Indonesia terus meningkat sebanyak 6 kali di tahun 2020 dan membutuhkan dukungan kapasitas jaringan domestik. Di tahun 2015, jangkauan cakupan 4G baru mencapai 23%. Pertumbuhan e- commerce, konten hiburan seluler, dan game membutuhkan peningkatan kecepatan untuk 73% pengguna yang memanfaatkan internet melalui pita lebar seluler. Indonesa harus menaikkan infrastruktur 4G/LTE, khususnya di luar Jawa (Das dkk, 2016). 

Penetrasi internet di Indonesia mencapai angka 34%, sementara rata-rata negara tetangga seperti Malaysia mencapai 50%. Angka ini pun masih jauh tertinggal dari Inggris Raya, Jepang, dan Kanada. Dua pertiga warga belum memiliki akses. Secara geografi, digitalisasi juga bersifat tidak merata dan hal ini memiliki hubungan dengan pendapatan penduduk. Daerah dengan penduduk berpendapatan lebih tinggi akan mendapatkan penetrasi lebih baik, seperti Jakarta dan Yogyakarta yang berada di angka 45%. Meski basis pengguna kecil, tetapi mereka melek internet. Pengguna internet akan semakin besar sejalan dengan pertumbuhan pemakaian telepon seluler (Das dkk., 2016). 

Berdasarkan survei yang dilakukan APJII (Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia) 2018, penetrasi internet telah menjangkau 143,26 juta jiwa penduduk Indonesia. Data tersebut merupakan survei yang dilakukan pada tahun 2017. Di tahun 2016, APJII melakukan survei yang sama dan menemukan jumlah penetrasi internet mencapai 132,7 juta jiwa. Sementara itu berdasarkan Digital In 2018 (We Are Social), sekitar 49% penduduk Indonesia memiliki akun aktif di media sosial. Indonesia adalah negara urutan ke-3 untuk tingkat pertumbuhan pemakaian media sosial, dengan kenaikan sebesar 23% dibandingkan data tahun 2017. Pengguna media sosial di Indonesia rata-rata menghabiskan waktu 3.5 jam atau lebih dalam sehari. Media sosial terpopular adalah Facebook dengan jumlah pengguna sebanyak 130 juta orang, setara dengan 6% pengguna Facebook dunia. Penggunaan ini menjadikan Indonesia berada di urutan ke-4 setelah Brazil (140 juta), Amerika Serikat (230 juta), dan India (250 juta). 

Berdasarkan laporan Google-Temasek e-Conomy SEA yang dipublikasikan pada tahun 2016, Asia Tenggara adalah kawasan dengan pertumbuhan internet tercepat di dunia. Di tahun 2016, basis pengguna internet terdiri dari 260 juta pengguna dan diharapkan tumbuh menjadi 480 juta pengguna di tahun 2020. Ekonomi digital di Asia Tenggara akan tumbuh senilai 200 miliar dolar AS di tahun 2025 didukung oleh peningkatkan perjalanan daring, e-commerce, dan media daring. Pertumbuhan penjualan e- commerce mencapai nilai kotor sebesar 10,9 miliar dolar AS di tahun 2017, meningkat dari tahun 2015 sebesar 5,5 miliar dolar AS, naik sebesar 41%. Di tahun 2025, penjualan e-commerce diharapkan mencapai 88,1 miliar dolar AS. Minat berbelanja konsumen meningkat 2 kali lipat, didukung promosi dan investasi pemasaran oleh pemain utama regional dan global yang melakukan co-branding dengan merek-merek top barang elektronik, fashion, dan barang konsumsi (consumer goods). Akselerasi e-commerce Asia Tenggara didorong oleh usaha kecil dan menengah yang melakukan penjualan melalui platform seluler. Pemain-pemain utama platform tersebut adalah Lazada, Shopee dan Tokopedia. 

Jasa transportasi daring tumbuh dramatis dalam 2 tahun terakhir. Di tahun 2017, jasa transportasi daring diperkirakan bernilai 5,1 miliar dolar AS, naik dua kali lipat dari tahun 2015 yang bernilai 2,5 miliar dolar AS. Di tahun 2025 diperkirakan nilai jasa transportasi daring sebesar 20,1 miliar dolar AS. Di Asia Tenggara terjadi persaingan antara tuan rumah regional, Grab, melawan pemain global, Uber. Belakangan Uber diambil alih oleh Grab. Sedangkan Gojek adalah pemain lokal yang fokus di Indonesia dan merencanakan ekspansi ke 100 kota di tahun 2017 dan 200 kota di 2018. Akselerasi transportasi daring menunjukkan potensi terpendam konsumen, pekerjaan yang menarik untuk para pengemudi, dan inovasi produk yang menjadi pengalaman baru untuk konsumen. Di kuartal ketiga 2017, tercatat 6 juta perjalanan tiap hari di seantero Asia Tenggara yang memanfaatkan transportasi daring. Di periode yang sama tercatat sebanyak 2,5 juta pengemudi di Asia Tenggara, meningkat 4 kali lipat dari 600 ribu pengemudi di tahun 2015. Bermula dari jasa transportasi, para penyedia jasa tersebut menambahkan jasa-jasa lain seperti jasa pembayaran (Grabpay dan GoPay), pengantaran makanan (Grabfood dan GoFood), serta kurir. 

Perusahaan-perusahaan internet di Asia Tenggara berhasil mengumpulkan 1,1 miliar dolar AS di tahun 2015, naik menjadi 4, 4 miliar dolar AS di tahun 2016, dan terus naik menjadi 7,7 miliar dolar AS di tahun 2017. Tujuh perusahaan yang menerima investasi bernilai di atas 1  miliar dolar AS adalah Gojek, Grab, Lazada, Razer, Sea Ltd (Garena), Traveloka, dan Tokopedia. Beberapa perusahaan tersebut telah menjadi perusahaan rintisan unicorn di Indonesia. Unicorn adalah perusahaan teknologi rintisan yang mencapai nilai 1 miliar dolar berdasarkan penilaian atau valuasi dari investor privat atau publik. Tahap unicorn adalah tahap yang menentukan karena 92% perusahaan teknologi rintisan gagal mencapai usia 3 tahun setelah diluncurkan. 





*Diikhtisarkan dari pembahasan tentang Ekonomi Digital di Asia Tenggara dalam buku Ekosistem Inovasi dan Kewirausahaan Rintisan (2020) karya M Rahmat Yananda dan Ummi Salamah. Pembaca yang berminat membaca buku tersebut, dapat memesannya di sini:  https://tokopedia.link/lW52tQJgLcb





Comments

Popular Posts