Traveloka: Melampaui Harapan Sederhana Pendirinya

 

“Awal launching, sama sekali tak ada maskapai yang bekerja sama dengan kami. Kami hanya menjual seperti tangan kedua saja atau reseller, tanpa komisi yang mereka berikan," kata Ferry Unardi, pendiri  Traveloka, sebagaimana dikutip www.swa.co.id (April 2014). " Namun, seiring dengan kemajuan trafik website kami, mereka mulai melirik, dan akhirnya mereka bekerja sama dengan kami, yang mana setiap transaksi kami diberikan share-profit sebesar 5%. Saya dapat share-nya, maskapai tersebut dapat crowd-nya,” lanjut Ferry. 





Sejarah Traveloka mulai ditorehkan oleh Ferry Unardi, Derianto Kusuma, dan Albert Zhang pada awal 2012. Pada mulanya Traveloka dibangun dengan ide sederhana, hanya ingin memudahkan belanja tiket pesawat terbang untuk banyak orang. Saat merintis usaha Traveloka, Ferry Unardi sendiri bukan jagoan atau pakar perjalanan (traveling) atau pemasaran (marketing). Namun, ia memiliki kompetensi di bidang teknologi. Anak muda kelahiran Padang, 16 Januari 1988, ini menyelesaikan program Computer Science and Engineering pada 2008 di Purdue University, Amerika Serikat. Traveloka mendapat bentuk sebagai bisnis rintisan karena Ferry dan teman-teman berkecimpung di bidang teknologi. 

Setelah meraih sarjana ilmu komputer, Ferry bekerja sebagai software engineer di perusahaan teknologi dunia Microsoft yang berkantor di Seattle, Amerika Serikat. Ia hanya bertahan 3 tahun di perusahaan milik Bill Gates itu, untuk kemudian melanjutkan studi ke jenjang master (MBA) di Harvard Business School. Namun studi itu tidak selesai karena Ferry lebih suka merintis Traveloka. Ferry muncul sebagai entreprenur berani mengambil risiko, mengabaikan zona aman menyandang status sebagai pekerja dan mahasiswa, saat memutuskan bertualang bersama Traveloka. 

Ferry menceritakan alasannya merintis usaha di travel daring lewat Traveloka, yang bersumber dari pengalamannya langsung saat mengalami kesulitan mencari tiket pesawat dari Amerika Serikat ke Padang, Sumatera Barat saat masih menjadi mahasiswa di Purdue University. Problem ini menginspirasinya membuat usaha daring tiket pesawat terbang yang memudahkan konsumen. “Selama 8 tahun di Amerika, terbang dari Amerika ke Indonesia itu sudah menjadi bagian dari aktivitas saya. Karena saya juga mesti mengunjungi Tanah Air saat libur kuliah. Selain itu, tidak seterusnya saya menetap di sini (Amerika). Saya juga mesti rekreasi di beberapa tempat, termasuk tanah air. Oleh karena itu, saya sering bersinggungan dengan urusan tiket pesawat,” ungkapnya. Saat itu Ferry sering kesulitan dalam mencari tiket pesawat yang sesuai dengan keinginannya. Contohnya, dari Indianapolis di Amerika Serikat ia tidak dapat menemukan pesawat yang langsung terbang ke Padang. Ia hanya bisa mendapatkan tiket ke Jakarta dan untuk terbang ke Padang, ia harus membeli tiket dulu di Jakarta. 

Problem kedua yang dialami Ferry adalah saat mencari tiket pesawat di website agen perjalanan di Indonesia. Ia sering mengalami putus informasi, sehingga kesepakatan sulit dicapai. Masalah timbul karena website tiba-tiba error atau tidak ada tindak lanjut dari agen perjalanan tersebut. Di balik masalah yang dialaminya, Ferry melihat peluang emas jika mereka bisa mengolah sistem ini dengan lebih baik dengan cara memperkuat website-nya, mulai dari pemeliharaan (maintenance), tata letak (layout), dan fitur-fitur lainnya. Apalagi jika ditambah dengan penguatan layanan seperti pelayanan konsumen selama 24 jam sehari. Situasi makro yang mendukung, problem yang dialami sendiri, dan dukungan keahlian sebagai sarjana ilmu komputer memunculkan tantangan untuk Ferry untuk mencari solusi. Sebagai sarjana ilmu komputer, ia merasa tertantang menyelesaikan masalah yang juga menjadi masalah bagi banyak orang. “Saya tertantang untuk mencoba terjun di dunia ini. Kemudian saya ajak teman saya, orang Indonesia juga, yang kebetulan pernah satu kantor di Microsoft, yakni Derianto Kusuma dan Albert untuk menggarap bisnis ini, yang kemudian kami namakan Traveloka,” ujar Ferry. 


Derianto Kusuma adalah lulusan Stanford University yang sebelum bergabung dengan Traveloka pernah bekerja sebagai insinyur perangkat lunak senior di LinkedIn yang berlokasi di Silicon Valley. Sementara Albert Zhang, lulusan Purdue University dan pernah bekerja di perusahaan perangkat lunak di Amerika Serikat, SalesForce. Latar belakang pendidikan dan pengalaman kerja para pendiri Traveloka tersebut memang menjanjikan bahwa mereka memiliki wawasan dalam membangun perusahaan rintisan di Indonesia. Latar belakang yang dominan dengan kompetensi teknologi mirip dengan yang dimiliki oleh 3 anak muda pendiri Bukalapak. 

Setelah 5 tahun berselang, Traveloka menjadi sebuah perusahaan bernilai lebih dari 1 miliar dolar AS atau sekitar Rp 14 triliun. Valuasi ini serta merta menjadikan Traveloka sebagai pemimpin bisnis perusahaan rintisan di bidang layanan perjalanan dan akomodasi di tanah air. Pandangan ke depan para pendiri Traveloka terlihat dalam keputusan untuk berekspansi ke luar negeri. Traveloka adalah perusahaan teknologi pertama Indonesia yang mengembangkan bisnisnya ke kawasan Asia Tenggara. Dari semula menjual tiket pesawat secara daring, Traveloka kini menjual banyak tiket selain pesawat. Tiket hotel, kereta api, paket perjalanan, aktivitas dan rekreasi, konektivitas, transportasi bandara, rental mobil, hingga direktori kuliner ada dalam fitur yang ditawarkan Traveloka

Kini, Traveloka telah bekerja sama dengan lebih dari 100 maskapai bertarif rendah (low-cost) dan layanan penuh (full service) untuk rute domestik dan internasional. Total lebih dari 200 ribu rute pesawat terbang di seluruh dunia bisa dibeli di Traveloka. Visi tersebut juga terlihat dari bagaimana Traveloka memiliki dan mengelola pusat riset dan pengembangan (R&D) di Bangalore, India. Traveloka memiliki akses inventori akomodasi di Asia Tenggara yang meliputi hotel, apartemen, guest house, homestay, resort, dan vila. Selain itu, Traveloka juga menawarkan lebih dari 40 opsi pembayaran lokal di setiap negara cakupannya, termasuk dukungan asistensi 24 jam per hari alias setiap saat. Saat ini aplikasi Traveloka telah diunduh lebih dari 40 juta kali di Asia Tenggara. 

Menurut Crunchbase–sebuah platform terkemuka mengenai perusahaan inovatif yang menjadi rujukan pengusaha, investor, peneliti pasar, dan tenaga penjualan–Traveloka adalah agregator perjalanan daring yang membantu pelanggan memilih dan memesan lokasi perjalanan. Traveloka adalah mesin pencari layanan penerbangan di Indonesia. Layanannya mencakup sebagian besar rute domestik dan maskapai penerbangan. Traveloka memperluas jangkauannya dengan beroperasi di 6 negara dan bereksperimen dengan cara-cara baru untuk menciptakan dampak besar di pasar dan industri yang mereka sentuh. Traveloka dikategorikan ke dalam perusahaan yang bergerak dalam big data, hiburan dalam penerbangan (in-flight) entertainment, mesin pencari (search engine) dan perjalanan (travel). 

Traveloka telah mengakuisisi 3  perusahaan sejenis, yaitu Pegipegi, Travelbook, dan Mytour di tahun 2018. Pegipegi adalah perusahaan pemesanan tiket hotel, pesawat, dan kereta api asal Indonesia. Travelbook adalah perusahaan perjalanan daring asal Filipina yang didedikasikan untuk menawarkan pemesanan hotel bernilai tinggi. Sementara  Mytour adalah perusahaan Vietnam yang menyediakan layanan pemesanan daring. Ekspansi Traveloka menunjukkan kemampuannya menguasai pasar dan melakukan disrupsi sektor perjalanan serta akomodasi dengan memaksimalkan teknologi informasi dan komunikasi (ICT).  Capaian Traveloka yang menonjol di sektor perjalanan dan akomodasi mendapatkan pengakuan dengan mendapatkan julukan sebagai kings. Kings adalah perusahaan yang telah memenangkan pertempuran di sektor atau industri tertentu. Pelago Capital dan Nikaia Ventures memperkirakan Traveloka akan tumbuh pesat karena belum mendapatkan pesaing yang sepadan. 

Traveloka mendapatkan investasi tahap awal, hanya dalam tempo sekitar 11 bulan dari peluncuran pertama perusahaan rintisan ini, yang tidak diungkapkan nilainya dari East Ventures (EV) pada 2012.  EV adalah perusahaan modal ventura asal Jepang yang fokus mendanai perusahaan rintisan tahap awal (early stage startup). Setahun kemudian, pada 2013, pendanaan seri A diterima oleh Ferry dan kawan-kawan dari Global Founders Capital dengan nilai yang juga tidak diungkapkan. Salah satu investor yang bergabung di dalamnya adalah Rocket Internet Samyer Brother, perusahaan internet asal Berlin, Jerman. Traveloka menjadi perusahaan rintisan pertama di Asia yang menerima investasi semacam itu. Meskipun tidak ada pengungkapan mengenai berapa banyak uang yang telah diterima dan dihasilkan perusahaan, Traveloka menghabiskan Rp 553 miliar atau setara 39,8 juta dolar AS untuk iklan televisi pada tahun 2015. Jumlah ini menurut perusahaan riset iklan TV Adstensity menempatkannya di urutan kedua setelah belanja iklan raksasa perdagangan Tokopedia. 

Kini Traveloka lebih besar dari yang pernah dipikirkan Ferry Unardi dan co-founder lainnya. Selain menguasai pasar perjalanan daring di Indonesia, layanan Traveloka juga sudah tersedia di tujuh negara, yakni Thailand, Vietnam, Malaysia, Singapura, Filipina, dan terbaru di Australia. Aplikasi Traveloka sendiri sudah diunduh lebih dari 40 juta kali di kawasan Asia Tenggara.  Dominasi Traveloka di pasar perjalanan jelas menarik banyak investor  baik lokal maupun asing. Pada kuartal akhir 2019, beredar kabar Ferry dan kawan-kawan sedang mencari pendanaan baru senilai Rp 7 triliun untuk Traveloka. Meski kabar ini belum terkonfirmasi kebenarannya, sejatinya Traveloka sudah banyak meluluhkan hati para investor global. Sebelumnya dua tahun lalu, tepatnya akhir 2017, Traveloka menerima investasi sekitar 500 juta dolar AS dari beberapa investor, seperti East Ventures, Hillhouse Capital Group, JD.com, dan Sequoia Capital. Sebelumnya lagi, startup ini juga mendapat dana segar dari Expedia senilai 350 juta dolar AS. Data Crunchbase menyebutkan, Traveloka sudah mengumpulkan modal sebesar 920 juta dolar AS atau sekitar Rp 13,1 triliun. 


**Diikhtisarkan dari pembahasan tentang  Entreprenur Pelopor Perusahaan Rintisan Indonesia  dalam buku  Ekosistem Inovasi dan Kewirausahaan Rintisan (2020), karya M Rahmat Yananda dan Ummi Salamah. Pembaca yang berminat membaca buku tersebut, dapat memesannya di sini:  https://tokopedia.link/lW52tQJgLcb







Comments

Popular Posts