Uberisasi sebagai Ideologi Ekonomi
Travis Kalanick bukan orang baru di dunia teknologi internet dan komputer. Ia adalah pemilik Red Swoosh, perusahaan berbagi dokumen (file sharing) dengan sesama pengguna (peer to peer), yang kemudian dijual ke Akamai Technologies pada tahun 2007. Begitu juga dengan Garret Camp. Ia pemilik StumbleUpon, situs sosial yang menyediakan layanan bookmark sehingga memungkinkan pengguna menemukan dan merekomendasikan konten web, yang sebelum bertemu Travis Kalanick, telah dijual ke e-Bay.
Travis Kalanick yang telah menjual perusahaannya membutuhkan ide baru. Ia berdiskusi dengan Garreth Camp yang kemudian mengajukan gagasan pemecahan masalah kemacetan di San Francisco, Amerika Serikat. Itulah gagasan mula-mula yang menjadi asal muasal Uber. Ide Uber berawal sebagai layanan berbagi Limo, memanfaatkan mobil sekelas Mercedes S Class, menggunakan aplikasi telpon pintar yang berkeliling San Francisco dan berbasis permintaan (on demand). Pada tahun 2009, Travis dan Garreth mendirikan perusahaan dengan nama layanan UberCab, lalu pada Oktober 2010, UberCab berganti brand dengan nama Uber.
Uber kemudian berkembang pesat secara global. Hanya dalam rentang waktu 6 tahun sejak berdiri, tepatnya pada tahun 2016, Uber telah melayani berbagai kota di dunia dan memperkenalkan layanan baru seperti Uber Freight, perangkat yang secara mudah menghubungkan perusahaan truk, pengemudi, dan pelayaran. Uber juga mengembangkan layanan mobil mandiri (driverless car). Di antara kedua orang pendiri Uber, Travis Kalanick adalah sang entreprenur.
Kehadiran Uber di berbagai kota dan negara mendapatkan penolakan karena dianggap “mengganggu” atau tepatnya mendisrupsi sistem transportasi konvensional. Pemerintah kota menyatakan taksi non-konvesional tersebut berbenturan dengan peraturan jasa transportasi yang berlaku. Misalnya, Uber mendapat tekanan karena alasan hak dan jam kerja para sopirnya. Kehadiran Uber menjadi ancaman serius bagi taksi konvensional karena perusahaan ini melakukan inovasi dalam model bisnis sejenis sehingga memunculkan dampak yang dalam studi ekonomi masa kini disebut Uberisasi.
Dengan memanfaatkan aplikasi dan platform, Uber mampu memotong biaya transaksi secara tajam. Uber tidak membayar gaji pengemudi, menyediakan asuransi, atau menyediakan kantor dan bengkel untuk menyimpan dan merawat kendaraan. Uber bahkan tidak memiliki kendaraan, dan tidak membutuhkan lisensi karena Uber adalah perusahaan teknologi, bukan perusahaan transportasi. Model bisnis Uber dikembangkan berdasarkan keinginan untuk meningkatkan kenyamanan konsumen. Demi mencapai tujuan tersebut, Uber mencari tahu kapasitas kosong atau yang tidak terpakai dari kendaraan pribadi, mengumpulkan, mengalokasikan, dan menawarkan kepada konsumen sesuai harga yang diinginkan.
Uber adalah perantara dari kapasitas kendaraan yang kosong atau tidak terpakai. Peran perantara tersebut menciptakan harga yang murah sehingga Uber dapat memberikan nilai tambah. Kehadiran Uber memberikan kesempatan bagi konsumen agar lebih mudah mendapatkan taksi dengan tingkat pelayanan lebih baik, dengan menyertakan informasi dan kualitas taksi, serta yang terpenting, memudahkan terjadinya interaksi.
Kesuksesan Uber dengan model bisnisnya berhasil menciptakan nilai dalam konteks pertarungan di medan ekonomi global. Teknologi, khususnya aplikasi seluler, membuka banyak kesempatan karena memungkinkan perusahaan rintisan (Start up) mendapatkan permintaan dan menciptakan model bisnis baru dengan memanfaatkan aset-aset yang justru tidak dimiliki oleh suatu perusahaan. Bahkan ketika infrastruktur baru dibutuhkan, perusahaan rintisan tidak membutuhkan biaya besar untuk melakukan pengadaan. Hal ini tentu memberikan keunggulan dalam hal pembiayaan dan waktu untuk masuk ke pasar (Smith, 2016).
Dalam catatan Daidj (2018), brand Uber telah menjadi semacam buzzword, yang terkenal dengan istilah "Uberisasi" (Uberization). Uberisasi adalah fenomena taksi Uber yang melakukan disrupsi terhadap dunia transportasi. Gejala yang terjadi di sektor transportasi dapat dimanfaatkan untuk melihat gejala disrupsi serupa di sektor-sektor lainnya, seperti lapangan dan angkatan kerja, keuangan dan perbankan, serta sekolah bisnis. Aplikasi sejenis Uber telah mengubah dunia kerja dan cara orang berpikir mengenai pekerjaan. Di sektor keuangan, aplikasi telah membuka kesempatan baru yang juga membawa risiko baru. Uber menjadikan teknologi sebagai perantara baru antara konsumen dan penyedia jasa yang menyebabkan perantara dari masa lalu menjadi usang. Pemanfaatan aplikasi menjadikan sekolah bisnis daring berkembang menggantikan kelas bisnis yang membutuhkan kehadiran fisik di ruang kelas.
Hampir tidak ada bisnis yang tidak terpengaruh oleh model bisnis Uber yang berbasis on-demand. Contohnya bisnis deterjen untuk binatu (laundry). Penyediaan deterjen tidak lagi menjadi dominasi pemain tradisional seperti toko serba ada. Menggunakan aplikasi on-demand, pengguna dapat melakukan pemesanan melalui telpon pintar dan pesanan deterjen dapat diantarkan langsung ke alamat oleh pemain-pemain baru seperti FlyCleaner, Washio, Rinse, dan Dryv di Amerika Serikat. Di Inggris, pemainnya di ranah yang sama adalah Laundrapp sementara di Cina ada Edaixi (Smith, 2016). Kewirausahaan ditunjukkan oleh Uber adalah bentuk ketajaman dalam mengamati pasar yang tidak efisien. Uber melakukan koreksi terhadap kondisi tersebut dan mampu memanfaatkan peluang yang muncul. Uber tidak memiliki intensi untuk menghancurkan pasar yang sudah ada karena yang dibutuhkan pasar adalah jasa yang berbeda atau yang bersifat melengkapi. Uber juga bukan penemu platform sebagai perantara baru, namun Uber mampu mengembangkan platform untuk keperluan yang lebih luas dengan sedikit bantuan publikasi.
Travis Kalanick dan Garreth Camp melakukan inovasi berbasis pengalaman mereka sebelumnya. Sebagai mantan pemilik perusahaan yang menjual produk teknologi, keduanya kemudian melihat peluang lebih besar, yaitu memberikan kenyamanan layanan transportasi di San Francisco. Berbeda dengan model bisnis sebelumnya, mereka mencoba langsung memecahkan masalah yang dihadapi konsumen sehari-hari dan sudah berlangsung lama, yaitu kemacetan dan ketidakyamanan bertransportasi. Model bisnis baru diciptakan untuk menyelesaikan masalah yang sudah ada dengan memanfaatkan teknologi yang tersedia dan dikenal baik oleh konsumen. Mereka berhasil menjadi entrepenur pelaku disrupsi dan meretas jalan baru untuk perusahaan-perusahaan rintisan. Uber saat ini bukan sekadar jasa taksi, Uber telah berkembang menjadi ideologi ekonomi.
* Diikhtisarkan dari pembahasan tentang "Dari Entreprenur ke Uberprenur" dalam buku Ekosistem Inovasi dan Kewirausahaan Rintisan (2020), karya M Rahmat Yananda dan Ummi Salamah. Pembaca yang berminat membaca buku tersebut, dapat memesannya di sini: https://tokopedia.link/lW52tQJgLcb
Keren!
ReplyDeleteKeren!
ReplyDeleteYouTube Begins Trial of Live Shopping in Video... for more info, visit
ReplyDeletejatim TIMES