KOTA BESAR SEBAGAI BASIS PERTUMBUHAN PERUSAHAAN RINTISAN INDONESIA

Indonesia telah memasuki sebagian siklus globalisasi. Gojek, Tokopedia, Traveloka, Bukalapak, OVO, Akulaku, Warungpintar,Blibli, Ruangguru, Modalku, Kredivo dan Halodoc telah melontarkan ekosistem Indonesia ke ekosistem global, meski masih beranggota kurang dari 1000 perusahaan dan terkonsentrasi di region perkotaan, khususnya kawasan metropolitan. Penumpukan perusahaan rintisan di kawasan perkotaan memanfaatkan keunggulan infrastruktur jaringan (transportasi dan teknologi), finansial, dan sumber daya manusia.





Gojek adalah perusahaan rintisan nasional yang mampu memasuki siklus ekspansi dengan tumbuh pesat dan membangun daya saing secara regional. Gojek merupakan perusahaan rintisan Gelombang Ketiga seperti Uber dan Airbnb serta melakukan ekspansi sesuai jaman dengan pilihan model bisnis yang mendukung. Sedangkan Traveloka muncul sebagai pemain yang memiliki diferensiasi kuat di pasar nasional. Walaupun sektor yang dilayani tidak baru, dan perusahaan sejenis juga banyak, kemampuan Traveloka memunculkan daya saing menciptakan keunikan. 

Gojek yang bermula dari pelayanan sektor transportasi on demand telah berkembang menjadi perusahaan super aplikasi (super apps) dengan relevansi pertumbuhan paling dekat dengan perkembangan global. Dengan 18 jenis layanan yang telah diorder 100 juta kali oleh 261 juta pengguna, saat ini GoPay sebagai layanan digital pembayaran Gojek telah melakukan transaksi senilai 6.3 miliar dolar AS per tahun. GoFood sebagai layanan pemesanan makanan telah melakukan transaksi sebesar 2 miliar dolar AS per tahun. Layanan ini menjadi layanan pengantaran makanan terbesar di Asia Tenggara yang melibatkan 300 ribu pedagang yang 80% nya adalah usaha kecil dan menengah (UKM). 

Ekosistem perusahaan rintisan Indonesia memiliki daya saing dan mendapatkan tempat di kawasan Asia Tenggara serta Asia. Indonesia memiliki potensi pasar yang besar.  Dengan 4 perusahaan rintisan yang telah menjadi unicorn, Gojek telah menjadi decacorn dan akan segera disusul oleh Tokopedia yang kemungkinan akan menyandang status ini juga. Traveloka mendapatkan predikat kings meski belakangan mendapatkan tantangan dari Tiket.com. Baik Gojek, Tokopedia, Traveloka dan Bukalapak telah menempatkan ekosistem perusahaan rintisan Indonesia ke peta global. Dan Indonesia berkepentingan memperkuat ekosistem mengingat besarnya penduduk sebagai pasar dan tren perkembangan yang diproyeksikan kurang lebih senilai 100 miliar dolar AS pada 2025.

Salah satu keunggulan ekosistem perusahaan rintisan Indonesia adalah lokasi yang berada di kawasan perkotaan Jabodetabek yang dihuni 32 juta penduduk. Tiga unicorn dan satu decacorn memilih berlokasi di ibukota negara Indonesia, yaitu Jakarta. Jakarta adalah hub utama kawasan Jabodetabek, sebuah kawasan perkotaan dan aglomerasi terbesar di Indonesia. Konsentrasi keberadaan perusahaan rintisan di kawasan ini dapat dipahami karena kemudahan infrastruktur teknologi informasi dan komunikasi (ICT), akses ke pasar, bakat (talents), dan modal. 

Aglomerasi Jabodetabek terjadi karena Jakarta sebagai ibukota menjalankan beragam fungsi mulai dari pusat pemerintahan, ekonomi, pendidikan dan teknologi, sosial, budaya dan lain-lain. Fungsi utama Jakarta sebagai pusat jasa dan perdagangan menentukan karena merupakan lokasi kantor-kantor pusat baik pemerintah dan swasta dan membuka peluang memaksimalkan  pengalihan aktivitas  berbasis non digital menuju digital. Kawasan perkotaan lainnya yang  sama-sama memiliki keunggulan aglomerasi adalah Bandung Greater Area dan Surabaya Greater Area. Kedua kawasan ini seharusnya dapat dikembangkan menjadi ekosistem baru untuk memunculkan perusahaan rintisan skala global. Sebagai catatan, Surabaya yang merupakan ibukota Provinsi Jawa Timur telah menjadi tuan rumah kedua terbesar bagi perusahaan rintisan, disusul Bandung, ibukota Provinsi Jawa Barat di peringkat ketiga meski selisih jumlah kedua kawasan ini dengan Jabodetabek masih sangat besar. 

Selain menjadi kekuatan dan peluang, konsentrasi lokasi perusahaan rintisan dapat menjadi ancaman. Jumlah perusahaan rintisan di kawasan Jabodetabek jika digabungkan dengan perusahaan rintisan di Jawa Timur, Jawa Barat, Jawa Tengah, Bali dan Nusa Tenggara Barat melampaui angka 80%. Artinya, terdapat kesenjangan antara kawasan Jabodetabek dengan seluruh Indonesia, dan terdapat kesenjangan antara Jawa dan luar Jawa. Konsentrasi perusahaan rintisan di pulau Jawa, khususnya Jabodetabek, menciptakan kesenjangan yang dalam dengan non Jawa. Kesenjangan itu dapat  mengulangi kesenjangan ekonomi Jawa dan luar Jawa yang selama ini terjadi. Sementara itu, pintu ancaman terbuka karena memudahkan pemain yang berasal negara lain masuk ke wilayah Indonesia dengan tingkat penetrasi dan persaingan di wilayah yang kurang terjangkau oleh perusahaan rintisan asal Indonesia. Misalnya, Gojek harus bertarung dengan Grab di kota-kota non Jawa di Indonesia. Sementara Tokopedia dan Bukalapak berebut pelanggan dengan Shopee dan Lazada.  

Empat perusahaan besutan Indonesia menggeluti 3 sektor, yaitu e-commerce (Tokopedia dan Bukalapak), on-demand dan lainnya (Gojek), serta perjalanan (Traveloka). E-commerce adalah sektor yang berkembang pesat di Gelombang Kedua ekonomi digital dengan para pelopor yang popular seperti eBay dan Amazon. Sedangkan Gojek adalah pemain yang berkembang di Gelombang Ketiga seperti halnya Uber. Perusahaan rintisan perjalanan seperti Traveloka lebih dahulu hadir di era digital karena industri pariwisata, perjalanan, dan hotel telah lebih dahulu memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi (ICT). Keempat perusahaan pelopor tersebut harus menjadi penggerak sektor digital Indonesia dan mengembangkan model bisnis baru. 

Kesamaan yang dimiliki keempat perusahaan tersebut  adalah merupakan perusahaan yang berorientasi kepada konsumen dan menggeluti sub sektor vertikal. Tokopedia, Bukapalak, dan Traveloka melayani jual beli aktivitas yang sudah berlangsung lama di sektor perdagangan. Gojek melayani transportasi on demand, yang juga bukan merupakan sektor baru karena diselenggarakan secara tradisional tanpa  aplikasi. Belakangan Gojek mengembangkan beragam aplikasi yang membuka kesempatan masuk ke dalam sub sektor lain seperti pengantaran makanan, pembayaran, dan lainnya. Indonesia belum memiliki unicorn yang berorientasi perusahaan di mana berbagai kesempatan baru dapat digali dan dimanfaatkan untuk mengembangkan perusahaan rintisan sub sektor lain. Indonesia harus memanfaatkan kekosongan ini mengingat tren sub sektor berlangsung dalam kurun waktu tertentu yang akan menurun dan digantikan oleh sub sektor lain atau sub sektor yang lebih baru. 

Secara global, berdasarkan laporan Startup Genome 2018, sektor-sektor yang digeluti oleh unicorn Indonesia seperti e-commerce tengah menurun. Akan tetapi situasi tersebut bersifat umum dan global serta dapat saja berbeda dengan situasi di kawasan tertentu. Untuk kawasan Asia Tenggara,  e-commerce masih diharapkan menjadi penggerak ekonomi digital. Harapan tersebut semakin tinggi melihat pesatnya pertumbuhan internet dan pemakai telpon seluler. Dan yang tak kalah pentingnya kawasan Asia Tenggara adalah pasar dengan konsumen yang besar. 

Beberapa sub sektor dari total 12 sub sektor yang dilaporkan Startup Genome penting dan memiliki peluang besar di Indonesia. Sub sektor pendidikan misalnya. Beberapa perusahaan rintisan di sektor edtech sudah mulai menonjol seperti RuangGuru dan Zenius. Keduanya tidak hanya memberikan layanan belajar secara daring, tetapi juga mulai mempertajam konsep belajar dan masuk ke beragam bidang. Edtech membuka ruang belajar ketiga, dari ruang belajar pertama  secara formal di sekolah dan ruang belajar kedua secara informal di non sekolah (bimbingan belajar dan rumah). Ruang belajar ketiga adalah ruang belajar virtual dan dapat menjadi ancaman bagi ruang belajar kedua jika tidak memanfaatkan fasilitas ruang belajar ketiga ke dalam model bisnisnya. Perusahaan-perusahaan tersebut telah menarik beragam sumber daya ke ekosistem nasional. Tercatat 2 perusahaan lain yang dianggap akan menjadi unicorn baru, yaitu RuangGuru (edtech) dan satu perusahaan yang bergerak di sektor AI. 

Sub sektor lain yang tengah berkembang dan perlu mendapatkan perhatian adalah fintech. Berdasarkan data Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sampai dengan 15 Mei 2019 terdapat 113 fintech yang terdaftar. Laporan survei PwC (2018), tanpa membedakan jenis fintech seperti pinjaman peer to peer, blockchain, dan otomatisasi proses, responden mengakui dengan tegas bahwa teknologi adalah pengubah permainan (game changer) di industri keuangan. Terlepas dari pandangan pengaruh fintech selama 5 tahun ke depan, investasi fintech masih relatif rendah dibandingkan dengan investasi teknologi untuk bank-bank Indonesia pada tahun 2018. Hanya 22% bankir yang mendaftarkan fintech di 3 besar area mereka untuk investasi di tahun mendatang. Sub sektor fintech masih terbuka luas sejalan dengan penyiapan kelembagaannya.


Pada tahun 2018, IDC FinTech Rankings merilis prediksi tentang perusahan fintech yang akan tumbuh pesat setelah di tahun 2017 merilis 10 perusahaan fintech dengan pertumbuhan tercepat.  IDC menjelaskan parameter penilaian yang dipakai dan membagi perusahaan rintisan fintech dalam beberapa kategori. Parameter yang digunakan adalah potensi pengguna, model dan proses bisnis, jenis dan kemudahan penggunaan, persaingan dengan perusahaan lain, valuasi perusahaan, manajemen dan tim, budaya perusahaan, teknologi dan perkiraan keuntungan. Kategori fintech dan perusahaan dibagi menjadi: (1) fintech berbasis pembayaran seperti GoPay, Midtrans, Xendit, Doku, T-Cash; (2) fintech berbasis pinjaman seperti Modalku, Akseleran, Investree, UangTeman; (3) fintech berbasis marketplace seperti AturDuit; (4) fintech berbasis manajemen keuangan seperti Finansialku; (5) fintech berbasis solusi perusahaan seperti Jojonomic; dan (6)  fintech berbasis software akuntansi seperti Jurnal.


Sub sektor fintech berdasarkan laporan MIKTI 2018 hanya terdiri dari 53 perusahaan sementara sub sektor game memiliki 55 perusahaan. Kedua sub sektor ini penting mendapat perhatian karena pemanfaatan teknologi berbasis perangkat lunak penting untuk menunjang infrastruktur bisnis. Keduanya hanya mengisi sekitar 10-11% perusahaan rintisan Indonesia. Rendahnya angka tersebut menggambarkan kekurangan tenaga ahli perangkat lunak di Indonesia. Gejala ini telah terlihat ketika Gojek membeli perusahaan perangkat lunak asal India untuk mendukung bisnisnya. 

Pada tahun 2017, industri game Indonesia berada pada posisi ke-16 dalam daftar pasar game terbesar di dunia (versi Newzoo) dengan jumlah pemain hingga 43.7 juta dan potensi penghasilan mencapai 880 juta dolar AS (sekitar Rp 11.9 triliun). Kolaborasi antara pengembang dan penerbit lokal akan membantu pengembang game menangani beragam aspek di luar produksi agar karya yang dihasilkan mampu mencapai pasar global secara lebih optimal. Misalnya, PlayGame dan The Walt Disney Company Southeast Asia (SEA) mengumumkan kolaborasi menghadirkan rangkaian game spesial bagi para penggemar di seluruh Asia Tenggara. 

Tantangan lain adalah keterbatasan jumlah perusahaan rintisan yang bergerak dalam pemanfaatan sains dan teknologi yang lebih maju. Belum ada data yang cukup menonjol terkait perusahaan rintisan yang bergerak di sub sektor AI, cybersecurity, AMT dan robotic, kesehatan, cleantech, dan lainnya. Perusahaan yang bergerak di sub sektor tersebut pernah dipublikasikan dalam jumlah terbatas, misalnya di sub sektor agroteknologi ada TaniHub dan iGrow sebagai 2 perusahaan yang sering diberitakan. TaniHub sendiri adalah e-commerce sektor pertanian yang menyebutnya dirinya sebagai perusahaan rintisan pertanian. Kedua perusahaan  tersebut tidak sepenuhnya melakukan pengembangan teknologi pertanian karena mereka lebih memanfaatkan kemajuan teknologi informasi dan komunikasi untuk sektor pertanian.

Perkembangan di beberapa sub sektor yang sudah cukup mapan seharusnya diikuti oleh pemain-pemain di sub sektor lainnya. Akan tetapi, belum banyak data yang mendukung kehadiran mereka. Sains dan teknologi menjadi kunci pengembangan meski harus diakui ekosistem sains dan teknologi Indonesia masih tertinggal dan membutuhkan elemen pengungkit. Jawaban dari masalah ini ada pada peran entreprenur dengan karakter baru yang akan berperan sebagai pengungkit sejalan dengan temuan dalam laporan Startup Genome 2018.


Perbandingan antara laporan kecenderungan perusahaan rintisan secara global di atas dengan perkembangan perusahaan rintisan di Indonesia memberikan gambaran mengenai tantangan yang harus dihadapi oleh bisnis rintisan di Indonesia, baik terkait dengan dinamika pasar, sub sektor, maupun sains dan teknologi.  Berdasarkan laporan MIKTI 2018, sekitar 35.48% (sejumlah 352) perusahaan rintisan di Indonesia bergerak di sub sektor e-commerce. Sub sektor tersebut secara global tengah mengalami penurunan investasi dan pemain besar seperti Amazon dan Alibaba telah bergerak ke sub sektor baru dan bergeser dari bisnis awal. Tantangan yang sama dihadapi oleh Tokopedia dan Bukalapak. Sementara Gojek dapat menjawab tantangan tersebut dengan menjadi super aplikasi (super apps).


Masalah lainnya yang menjadi temuan besar MIKTI adalah 53.6% (atau sejumlah 532) perusahaan rintisan Indonesia termasuk dalam sub sektor bidang lainnya. Artinya, banyak perusahaan rintisan tersebar ke dalam banyak sub sektor. Hal ini dapat menjadi masalah besar jika perusahaan-perusahaan tersebut tidak memiliki potensi memasuki sub sektor yang tengah menjadi kecenderungan global. Mereka tidak akan dilirik oleh modal ventura dan tidak mendapatkan dukungan lain yang diperlukan untuk tumbuh. 


Dari penjelasan  di atas dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut: 

  • Daur hidup perusahaan rintisan Indonesia secara umum baru berada di tahap aktivasi (tahap permulaan) walaupun telah memiliki beberapa perusahaan rintisan yang berhasil menjadi unicorn dan decacorn. Keberadaan perusahaan unicorn dan decacorn harus dimanfaatkan untuk mengungkit ekosistem perusahaan rintisan ke tahap daur hidup selanjutnya
  • Sub sektor yang menjadi andalan seperti e-commerce merupakan tren di Gelombang Kedua. Tren investasi di sub sektor tersebut secara global mulai menurun. Sementara itu, perusahaan rintisan yang mampu bergerak maju ke Gelombang Ketiga, seperti Gojek yang menjadi super aplikasi, dapat menemukan momentum untuk tumbuh dan terus berkembang. Sub sektor yang sarat dengan input sains dan teknologi di Gelombang Ketiga belum tergarap secara signifikan oleh perusahaan rintisan Indonesia
  • Entreprenur Gelombang Ketiga adalah para entreprenur yang memiliki latar belakang sains dan ilmu pengetahuan sejalan dengan perkembangan sub sektor termutakhir
  • Kawasan perkotaan menjadi lokasi tumbuh kembang sebagian ekosistem penantang (challenger) bagi ekosistem perusahaan rintisan yang sudah mapan seperti Silicon Valley dan lain-lain.

*Diikhtisarkan dari pembahasan tentang Ekosistem Perusahaan Rintisan  Indonesia  dalam buku Ekosistem Inovasi dan Kewirausahaan Rintisan (2020) karya M Rahmat Yananda dan Ummi Salamah. Pembaca yang berminat membaca buku tersebut, dapat memesannya di sini:  


Comments

Popular Posts