Melihat Posisi Indonesia di Peta Global Ekonomi Berbasis Pengetahuan

Masyarakat borjuis datang dari para pemilik modal, lalu  muncul masyarakat pekerja (labouring society). Di masa  kini, sedang berlangsung  transformasi menuju masyarakat pengetahuan (knowledge society). Sulit menemukan kapan persisnya kemunculan masyarakat tersebut, tetapi masyarakat pengetahuan ditengarai oleh Daniel Bell, muncul secara simbolik setelah masyarakat industri (post industrial society), dan  dapat dilacak ke masa akhir Perang Dunia II (Stehr dkk, 2020). 



Fondasi dari transformasi masyarakat modern menuju masyarakat pengetahuan secara signifikan terkait dengan perubahan sistemik dalam struktur ekonomi. Aktivitas sumber penambahan nilai bertumbuh dengan basis pengetahuan. Pengetahuan membentuk input dan output. Output dari ekonomi berbasis pengetahuan (knowledge-based economy)   secara signifikan melibatkan peningkatan intensitas pengetahuan dalam produknya dan upaya dengan intensitas pengetahuan yang lebih tinggi melalui dukungan inovasi. Input dalam ekonomi berbasis pengetahuan datang dari perluasan pengetahuan. Dinamika ekonomi global tidak lagi didorong oleh perdagangan secara konvensional---komoditas yang tahan lama seperti gandum, minyak, mobil dan baja---tetapi oleh perdagangan produk moneter seperti mata uang, saham, obligasi, dan produk-produk derivatifnya. dalam knowledge-based economy (KBE), komoditas simbolik non-moneter seperti data, lintasan teknologi, statistik, rejim fashion, program-program, marketing produk, sebagaimana bertumbuhnya aliran informasi dari dalam dan ke luar batas negara, tumbuh menjadi penting. Pengetahuan menjadi kekuatan produktif  sebagai  basis “materi” dan menjadi salah satu justifikasi untuk menjadikan masyarakat modern, maju sebagai masyarakat pengetahuan (Stehr dkk., 2020). 

Suatu tahapan ekonomi didahului oleh dominasi keadaan ekonomi sebelumnya. Ekonomi industri menjadi penyebab dominasi ekonomi pertanian. Munculnya teknologi industri merupakan dorongan untuk pembentukan ekonomi industri, yang mendominasi produksi industri. Kemunculan dan distribusi teknologi jasa dan implementasinya ke dalam industri, menyebabkan transisi ke ekonomi pascaindustri, di mana ruang lingkup jasa mendominasi. Munculnya teknologi internet dan implementasi potensi jasa secara virtual menyebabkan munculnya ekonomi pengetahuan. Kemunculannya didominasi oleh inovasi. Pengakuan terhadap modal manusia menjadi keunikan dalam ekonomi berbasis  pengetahuan, yang menempatkan modal manusia sebagai pusat sistem, memungkinkan pemenuhan kebutuhan material publik dan implementasi potensi yang ada dari pengembangan manusia (tenaga kerja, intelektual, dan inovasi). Dengan demikian juga memenuhi kebutuhan non-material karyawan. Modal manusia dihargai dan potensi manusia tersebut dibuka, kebutuhan material dan non-material konsumen terpenuhi, membuat ekonomi pengetahuan sebagai puncak dari jalur evolusi sistem ekonomi modern. 

Bank Dunia dan OECD mengembangkan konsep knowledge-based economy (KBE) dengan menggambarkannya sebagai ekonomi yang menggunakan sumber daya informasi, teknologi, keterampilan, dan proses, untuk mencapai dan mempercepat potensi pertumbuhan ekonomi. Gabungan definisi Bank Dunia dan OECD menyebutkan KBE sebagai ekonomi yang memiliki insentif ekonomi dan rezim kelembagaan yang merangsang perolehan, penciptaan, penyebaran, dan penggunaan pengetahuan dan informasi untuk meningkatkan pertumbuhan dan kesejahteraan, serta sistem pendidikan dan keterampilan, informasi dan komunikasi yang efektif (TIK), penelitian dan pengembangan (R&D), dan inovasi (dalam ADB, 2014). 

Untuk mengukur dan memantau kemajuan ekonomi sebagai KBE, Bank Dunia mengembangkan Indeks Ekonomi Pengetahuan (KEI), menggunakan kerangka empat pilar (dalam ADB, 2014): 

  1. Insentif ekonomi dan rejim kelembagaan untuk memberikan insentif bagi  penggunaan yang efisien dari pengetahuan baru dan yang sudah ada dan berkembangnya kewirausahaan. 
  2. Penduduk yang terdidik dan terampil untuk menciptakan, berbagi, dan  menggunakan pengetahuan dengan baik. 
  3. Inovasi yang efisien dan sistem adopsi teknologi perusahaan, pusat penelitian, universitas, konsultan, dan organisasi lain untuk memanfaatkan pertumbuhan global pengetahuan, mengasimilasi dan menyesuaikannya dengan kebutuhan lokal, dan menciptakan teknologi baru. 
  4. Teknologi informasi dan komunikasi untuk memfasilitasi kreasi yang efektif, diseminasi, dan pemrosesan informasi. 
Posisi Indonesia, Cina, dan India 

Menurut  laporan ADB (2014) bertajuk Innovative Asia: Advancing The Knowledge-Based Economy: Next Policy, Cina mendapatkan indeks yang tinggi untuk pilar insentif ekonomi dan rejim kelembagaan di Asia. Hasil ini menempatkan negara dengan penduduk terbesar di dunia tersebut di peringkat kedua setelah Singapura. Sementara untuk pilar yang sama, India berada di posisi 15, atau satu peringkat di atas Indonesia yang berada di posisi 16. Pada pilar pendidikan dan keterampilan, Cina menempati posisi 19, satu peringkat di atas Indonesia. Sementara India menempati posisi 21, dua peringkat di bawah Indonesia. Di pilar inovasi, Cina melesat ke posisi 7 dan India di posisi 10, sementara Indonesia berada di peringkat 15. Di pilar infrastruktur ICT, Cina berada di peringkat 13, Indonesia di peringkat 21, dan India di peringkat 22. 

Sementara itu dalam Global Competitiveness Index (GCI) 2019, Cina tetap menonjol diikuti Indonesia dan India. Cina berada di peringkat 28, diikuti India di peringkat 68, dan Indonesia di peringkat  85. Publikasi di tahun 2019 memakai kerangka kerja The Global Competitiveness Index 4.0 (GCI 4.0) yang terdiri dari 12 pilar sebagai faktor-faktor yang akan tumbuh signifikan dalam  Industrial Revolution 4.0 dengan mengedepankan modal manusia, ketangkasan, kecepatan dan inovasi. GCI 4.0 adalah indikator komposit yang diagregasi secara sukseksif dari skor-skor tingkatan indikator. Keseluruhan skor GCI 4.0 adalah rata-rata dari komponen. Keduabelas pilar tersebut dikelompokkan ke dalam kategori dukungan lingkungan (enabler environment), sumber daya manusia (human capital), pasar (market), dan ekosistem inovasi (innovation ecosystem).

Dalam laporan GCI 2019, Cina menempati peringkat 18 untuk adopsi ICT dari kelompok dukungan lingkungan di mana India menempati peringkat 120 dan Indonesia menempati peringkat 72. Dalam kategori sumber daya manusia untuk keterampilan, Cina menempati peringkat 64, India peringkat 107 dan Indonesia peringkat 65. Sementara itu dalam kelompok ekosistem inovasi yang berisi 2 pilar (yaitu dinamika bisnis dan kemampuan inovasi) Cina (36), India (69) dan Indonesia (29) untuk dinamika bisnis. Sedangkan untuk kemampuan inovasi, Cina (24), India (35), dan Indonesia (74). Skor pembentuk kemampuan inovasi berisi interaksi dan keragaman, R&D, serta komersialisasi. Untuk interaksi dan keragaman, Cina (36), India (52) dan Indonesia (42). Untuk R&D, Cina (10), India (26) dan Indonesia (83). Sedangkan untuk komersialisasi, Cina (34), India (76) dan Indonesia (91). 

Sebagai catatan tambahan, dalam laporan The Global Innovation Index (GII) 2019 Cina berada di peringkat 14, India 52 dan Indonesia 85.  GII dihitung berdasarkan keseluruhan sub indeks input inovasi dan sub indeks output inovasi. Sub indeks input inovasi terdiri dari 5 pilar elemen ekonomi nasional yang memungkinkan terjadinya aktivitas inovasi, antara lain: (1) kelembagaan, (2) sumber daya manusia dan riset, (3) infrastruktur, (4) kecanggihan pasar, dan (5) kecanggihan bisnis. Sementara sub indeks output inovasi antara lain (6) output pengetahuan dan teknologi, dan (7) output kreatif. 

Indonesia mengungguli Cina dan India di elemen institusi kecuali dalam hal kemudahan memulai bisnis di mana Cina menempati peringkat 25, India 104 dan Indonesia 102. Indonesia tertinggal jauh dalam hal sumber daya manusia (SDM) dan riset. Cina menempati peringkat 25, India di peringkat 53 dan Indonesia di peringkat 90. Di bagian sumber daya manusia dan riset yang membahas pendidikan Cina berada pada peringkat (13), India (99), Indonesia (110). Skor PISA Indonesia (69) berada di atas India (71) dan Cina berada jauh di peringkat 8. Sementara itu untuk skor pendidikan tinggi, India memimpin di peringkat 40 diikuti Indonesia (89) dan Cina (94). Dalam hal R& D, Indonesia (63) memang tertinggal dari Cina (17) dan India (35). Jika R&D diturunkan ke dalam skor peneliti, Cina menempati peringkat 46, India (77), dan Indonesia di peringkat 86. Cina menempati peringkat 15, Indonesia peringkat 50,  dan Indonesia peringkat 109 untuk pengeluaran kotor untuk R&D (Gross Expenditure on Research and Development-GERD). Perusahaan global yang melakukan R&D di Cina menempati peringkat 6, India (15), dan Indonesia (43). Dan peringkat rata-rata Quacquarelli Symonds (QS) atau peringkat universitas dunia Cina berada di peringkat 3, India (21) dan Indonesia (36). 

Infrastruktur ICT Cina berada di peringkat 46, India (75) dan Indonesia (88). Hampir di semua skor infrastruktur ICT Cina unggul. Sedangkan posisi India dengan Indonesia relatif. Akan tetapi India mengungguli Cina dan Indonesia untuk skor layanan pemerintah daring dan partisipasi elektronik. Layanan pemerintah daring India berada di peringkat 9, Cina (34) dan Indonesia (92). Partisipasi elektronik India berada di peringkat 15, Cina (29) dan Indonesia (88). Elemen kecanggihan pasar Cina berada di peringkat 21, India (79) dan Indonesia (75). Indonesia unggul empat peringkat dari India dalam hal ini. Sementara untuk skala pasar domestik ketiga negara memang memiliki potensi besar berturut-turut Cina di peringkat 1, India (3) dan Indonesia (7).

Indonesia (122) dan India (99) bermasalah besar dengan pekerja pengetahuan di mana Cina menempat peringkat 1. Skor pembentuknya adalah pekerja pengetahuan intensif, training formal perusahaan, kinerja GERD oleh bisnis, pembiayaan GERD oleh bisnis, dan derajat pekerja perempuan. Dalam hal inovasi, peringkat Cina (58) berada di bawah India (41) dan Indonesia (50). Skor keterkaitan inovasi dibangun dari kolaborasi riset universitas-industri di mana Cina berada di peringkat 27, India (23) dan Indonesia (34). Skor lain adalah klaster pengembangan oleh negara di mana Cina menempati peringkat 28, India (25) dan Indonesia (27). Untuk penyerapan pengetahuan, Indonesia (48) tertinggal dari Cina (13) meski  di atas India (56). Posisi masing-masing negara berbeda dalam penyerapan pengetahuan. Peringkat Cina menonjol di skor impor teknologi tinggi di peringkat 4 sedangkan India (27) dan Indonesia (49). Cina juga unggul di bakat riset (talent) untuk tingkat persentase di perusahaan berada di peringkat 12, mengungguli India (48) dan Indonesia (37). Skor pembayaran hak cipta India (29) lebih baik dari Cina (30) dan Indonesia (35). Indonesia menempati peringkat lebih baik untuk skor impor layanan ICT di mana Cina menempati peringkat 85 dan India (62). Di peringkat arus masuk investasi asing lintas negara (foreign direct investment–FDI) bersih, peringkat Cina (88), India (83) dan Indonesia (90) tidak terpaut jauh. 

Indonesia (82) tercecer dari Cina (5) dan India (32) dalam output teknologi dan pengetahuan. Dalam penciptaan pengetahuan Cina berada di peringkat 4, India (42) dan Indonesia (101). Cina menempati peringkat 1 untuk dampak pengetahuan di mana India (35) dan Indonesia (64).  Cina (22) dan India (23) bersaing di peringkat penyebaran pengetahuan di mana Indonesia (96) berada jauh di belakang. Skor pembentuk penyebaran pengetahuan adalah penerimaan atas hak atas kekayaan intelektual (HAKI), Cina menempati peringkat 56, India (50), dan Indonesia (76). Akan halnya ekspor bersih teknologi tinggi, Cina menempati peringkat 1, India (46) dan Indonesia (43) berada sedikit di atas India. Dalam ekspor layanan ICT, India memimpin di peringkat 1, Cina (75), dan Indonesia (101). Peringkat arus keluar FDI bersih, Cina menempati peringkat 42, India (76), dan Indonesia (112). 

Dalam output kreatif Cina menempati peringkat 12, India (78) dan Indonesia (76). Output produk kreatif dibentuk oleh aset tidak berwujud (trademark, rancangan industri, ICT dan penciptaan model bisnis). Dalam hal ini Cina menempati peringkat 1, India (81) dan Indonesia (68). Untuk produk dan jasa kreatif, Cina menempati peringkat 15, India (66) dan Indonesia (73). Skor pembentuknya adalah ekspor budaya dan jasa kreatif, fitur film nasional, pasar hiburan dan media, percetakan dan media lain, serta ekspor barang kreatif. Ketiga negara menempati peringkat yang kompetitif untuk ekspor barang dan jasa kreatif di mana Cina menempati peringkat 1, India (22), dan Indonesia (19).

Sementara itu, daya saing ekonomi digital suatu negara yang dipublikasikan Digital Planet 2017: How Competitiveness and Trust in Digital Economies Vary Across the World (Bhaskar Chakravorti and Chaturvedi, 2017) melihat dari fungsi 2 faktor, yaitu: (1) kondisi digitalisasi saat ini; dan (2) laju digitalisasi dari waktu ke waktu yang diukur dengan tingkat pertumbuhan skor digitalisasi negara selama 8 tahun (2008-2015). Posisi Indonesia secara umum berada di peringkat 45. Peringkat tersebut lebih baik dari India (53) sedangkan Cina berada di peringkat 36.  Temuan tersebut disampaikan The Fletcher School di Tufts University, Amerika Serikat yang disampaikan dalam Digital Evolution Index (DEI) 2017 hasil kerjasama dengan Mastercard. Publikasi ini menindaklanjuti DEI sebelumnya di 2015. 

DEI 2017 adalah evaluasi holistik yang digerakkan oleh data tentang kemajuan ekonomi digital di 60 negara. Dengan menggunakan lebih dari 100 indikator, evaluasi ini terdiri dari 4 pendorong utama, yaitu: (1) kondisi penawaran (infrastruktur akses, transaksi, pemenuhan permintaan); (2) kondisi permintaan (kapasitas konsumen, penyerapan pembayaran digital, serapan digital); (3) lingkungan institusional (institusi dan lingkungan bisnis serta ekosistem digital, efektivitas dan kepercayaan terhadap institusi); serta (4) inovasi dan perubahan (input, proses dan output). DEI berusaha memotret kondisi saat ini dan laju evolusi digital untuk mengidentifikasi dampaknya pada investasi, inovasi, dan prioritas kebijakan. DEI 2017 juga menyoroti sifat risiko yang terus berkembang yang diciptakan oleh kebergantungan pada teknologi digital. Konsep kunci dalam penelitian ini adalah "kepercayaan digital" masing-masing negara, kualitas pengalaman pengguna; sikap terhadap lembaga dan organisasi utama; serta perilaku pengguna berinteraksi dengan dunia digital. 

DEI kemudian mengelompokkan 60 negara ke dalam kategori: Stand Out, Stall Outs, Break Outs dan Watch Outs. Stand Out adalah negara yang sangat maju secara digital dan menunjukkan momentum yang tinggi. Break Outs adalah negara memiliki skor rendah dalam kondisi digitalisasi saat ini tetapi berkembang dengan cepat. Momentum tinggi tersebut sangat menarik bagi investor namun terhambat oleh infrastruktur yang relatif lemah dan kualitas kelembagaan yang buruk. Negara-negara Break Out berpotensi untuk menjadi negara-negara yang menonjol di masa depan dengan Cina, Malaysia, Arab Saudi, Kenya, dan Rusia memimpin di depan. Indonesia termasuk ke dalam kelompok Break Outs ini. Stall Outs adalah negara yang menghadapi tantangan yang signifikan dengan digitalisasi dan momentum yang rendah,  bahkan dalam beberapa kasus negara-negara ini bergerak mundur dalam laju digitalisasi.

Ekonomi berbasis pengetahuan (KBE) memiliki sejumlah syarat, yaitu: (1) Ekonomi-regionalisasi pembangunan ekonomi; interaksi perusahaan dalam sistem terbuka; integrasi penciptaan dan komersialisasi pengetahuan; infrastruktur pintar; jaringan bisnis lokal dan global yang kuat, (2) Tata kelola di banyak tingkatan secara asosiasional dan kepentingan banyak pemangku kepentingan; dukungan kebijakan yang kuat untuk inovator; peningkatan anggaran riset; kepemimpinan yang dipandu oleh visi; posisi global aset lokal, (3) infrastruktur pengetahuan baik perguruan tinggi, institusi riset sektor publik, agensi untuk mediasi, konsultasi profesional dan lain-lain yang harus aktif terlibat dalam kapasitas pemecahan masalah secara struktural, (4) Komunitas dan budaya kosmopolitanisme; hayati; SDM berbakat; lingkungan budaya kreatif; dan toleransi sosial; yang lebih menyediakan latar belakang dinamis dari hubungan Triple Helix (perguruan tinggi-industri-pemerintah) (dalam Cooke dan Leydesdorff, 2006:10-11). 

Empat syarat di atas tidak semuanya tersedia untuk kasus Indonesia. Regionalisasi pembangunan ekonomi terkosentrasi di beberapa kawasan perkotaan seperti Jabodetabek (Jakarta Greater Area), Surabaya Greater Area dan Bandung Greater Area.  Kawasan perkotaan tersebut dihuni populasi besar dan padat yang menjadi pasar potensial. Sepanjang koridor Jakarta-Bandung, Jakarta-Banten dan Jakarta-Bogor tumbuh klaster industri yang didukung oleh klaster perumahan, perbelanjaan dan pendidikan. Ketiga greater area tersebut mendapatkan pelayanan infrastruktur yang baik, baik transportasi maupun teknologi informasi dan komunikasi (ICT).

Kawasan perkotaan memiliki perguruan tinggi dan lembaga riset publik. Tiga perguruan tinggi penting, yaitu Universitas Indonesia (UI), Institut Teknologi Bandung (ITB) dan Institut Pertanian Bogor (IPB) bergabung di 2 greater area Jakarta dan Bandung, dilengkapi dengan lembaga riset publik, seperti Puspiptek di Tangerang Selatan. Kota lain seperti Yogyakarta memiliki Universitas Gadjah Mada (UGM), dan Surabaya memiliki Universitas Airlangga (Unair) dan Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS). Kota-kota tersebut telah lama berinteraksi dengan lembaga riset tetapi belum menunjukkan luaran yang signifikan dalam konteks KBE. 

Perusahaan rintisan Indonesia dominan berlokasi di kawasan perkotaan, khususnya Jabodetabekjur. Menurut laporan MIKTI 2018 yang juga sejalan dengan temuan umum EV-DCI 2020, 522 perusahaan rintisan berlokasi di Jabodetabek. Jumlah ini setara dengan 52.62% dari jumlah keseluruhan perusahaan rintisan. Empat unicorn asal Indonesia (Gojek, Tokopedia, Traveloka dan Bukalapak) semuanya berlokasi di Jakarta. Perusahaan-perusahan rintisan lain di lapis selanjutnya seperti OVO, Ruang Guru, Halodoc, IDN Times juga berpusat di Jakarta. Jabodetabek dengan penduduk sekitar 32 juta jiwa merupakan pasar potensial. Jakarta sebagai pusat Jabodetabek mendapatkan infrastruktur terbaik seperti transportasi, ICT, pendidikan, pemerintahan, ekonomi dan keuangan, dan lain-lain sehingga unggul sebagai kawasan perkotaan. 

Kehadiran Gojek mengubah lanskap layanan transportasi di Jabodetabek. Gojek melalui layanan GoRide telah melakukan disrupsi terhadap ojek pangkalan sebagai satu alternatif moda transportasi tidak resmi di rute yang tidak dapat dilayani angkutan umum. Dalam kurun waktu yang tidak terlalu lama, Gojek juga telah menggantikan peran angkutan umum bus sedang dan angkot. Gojek memunculkan layanan taksi daring GoCar dan mengancam bisnis taksi konvensional. Bahkan perusahaan taksi terbesar di Indonesia Bluebird kemudian menempatkan aplikasi GoBluebird di platform layanan Gojek. Gojek melayani pemesanan makanan melalui aplikasi GoFood, transaksi keuangan melalui GoPay, pengiriman barang melalu GoSend, pembelian pulsa melalui   dan lain-lain. Gojek saat ini dibayangi oleh platform transportasi on-demand Grab yang berbasis di Singapura. Platform tersebut juga memiliki aplikasi pengantaran makanan, pengantaran, pulsa, kesehatan, jasa rumah, dan lain-lain.

Sementara kehadiran Traveloka mengancam bisnis pemesanan tiket konvensional untuk jasa transportasi (pesawat, kereta api, bus), hotel, dan lain-lain. Traveloka memberikan bentuk layanan baru akomodasi berpergian. Kehadiran Traveloka kemudian disaingi oleh Tiket.com. Pemesanan tiket daring sejalan dengan tumbuhnya moda transportasi yang selama ini dikenal mahal menjadi lebih terjangkau seperti pesawat udara. Perbaikan layanan moda kereta api juga disambut oleh aplikasi pemesan tiket perjalanan tersebut berkat transportasi daring memudahkan penumpang ke hotel, lokasi wisata dan lokasinya lainnya. Terjadi integrasi layanan akomodasi yang menjadikan  pemain seperti Traveloka menempati posisi dominan. 

Tokopedia dan Bukalapak memberikan kemudahan berbelanja dan bertransaksi. Platform multisisi tersebut memberikan banyak kesempatan untuk banyak orang dengan beragam barang dan jasa. E-commerce menjadi salah satu penyebab sepinya pusat perbelanjaan konvensional. E-commerce membuka kesempatan kepada banyak pihak. Aplikasi ini terus berkembang dengan memberikan layanan transaksi pembayaran pajak kendaraan bermotor dan lain-lain. 

Kemudahan transportasi, pemesanan tiket dan hotel, berbelanja dan beragam pembayaran seperti pajak didukung oleh ketersediaan infrastruktur ICT yang menjadi jembatan penghubung kepada konsumen menggunakan gawai pintar. Infrastruktur ICT yang baik menjadi salah satu keunggulan kota dan perkotaan. Kota yang memiliki fungsi ekonomi perdagangan dan jasa mudah terintegrasi melalui ICT dengan memakai pendekatan sharing economy (SE). Perkembangan perdagangan barang dan jasa memanfaatkan teknologi  mampu mendisrupsi aktivitas ekonomi konvensional karena lebih efisien dan efektif. platform digital menyebabkan biaya transaksi dapat dikurangi, kemudahan akses via gawai pintar portabel, dan koneksi karena didukung oleh jaringan internet.

Sharing economy (SE) merupakan gejala perkotaan berkat kemajuan ICT yang memungkinkan teknologi disrupsi berlaku. Proposisi nilai SE sejalan dengan kondisi perkotaan karena kepadatan perkotaan menciptakan inefisiensi dan tantangan di satu sisi, tetapi di sisi lain juga memunculkan peluang dan skala, kedekatan, fasilitas, dan spesialisasi yang menandai kehidupan kota yang memungkinkan perusahaan berbasis SE berkembang. Sharing enterprise bergantung pada massa kritis penyedia dan konsumen yang cukup dekat satu sama lain atau dengan fasilitas lain untuk membuat platform mereka berfungsi. Seringkali produk dan jasa SE menemukan nilai lebih karena diuntungkan oleh jarak yang berdekatan. Karenanya layanan berbagi ruangan, berbagi rute dan kendaraan, atau menawarkan waktu lebih dan ceruk layanan dapat dipertukarkan (Davidson dan Infranca, 2016). 

SE yang ditopang revolusi digital harus menjadi pengungkit lintasan teknologi dan industri Indonesia dalam memajukan KBE, khususnya ekonomi digital. Pengakuan Jakarta sebagai salah satu ekosistem challenger untuk perusahaan rintisan adalah peluang yang harus dimaksimalkan sebagai strategi mengejar ketertinggalan (catch-up strategy). Berbeda dengan Cina dan India yang memiliki rancangan kawasan inovasi yang terencana dan terselenggara dalam bentuk distrik industri, klaster dan Sistem Inovasi Regional seperti Zhongguancun dan Bangalore, Indonesia belum memiliki kawasan tersebut. Pemerintah pernah merancang kawasan industri elektronik seperti Batam dengan penyelenggara khusus berbentuk otorita tetapi kawasan tersebut tidak memiliki daya saing. 

Batam dikembangkan karena kedekatan dengan Singapura dan digunakan sebagai jaringan logistik, taman industri dan tempat relokasi perusahaan dari Singapura untuk mendapatkan upah buruh yang lebih kompetitif. Sejak 1999, dimulai dengan 4 perusahaan, lintasan industri Batam berkembang kuat dan mencapai puncaknya di tahun 2003 dengan 99 perusahaan. Pada 2004, tren ini menurut menjadi 64 perusahaan meski di tahun 2009 naik lagi menjadi 79 perusahaan untuk kemudian turun menjadi 50 perusahaan di 2010 dan jumlah ini terus bertahan hingga 2012. Dapat disimpulkan, lintasan industri di Batam mengalami penurunan (van Grunsven dan Hutchinson, 2017). 

Batam adalah kisah kegagalan membangun lintasan industri yang menjadi fondasi untuk maju ke tahapan industri yang lebih maju sebagaimana dilakukan Cina di Zhongguanun dan India di Bangalore. Sementara itu pengembangan industri strategis seperti industri pertahanan ternyata juga belum menunjukan dampak signifikan dan belum menyediakan pijakan yang kuat untuk lintasan teknologi dan industri Indonesia. Industri pertahanan di Amerika Serikat, Cina dan India menjadi platform kemajuan industri dan teknologi sipil. Sementara industri strategis Indonesia bahkan ditenggarai mengalami keruntuhan.   

Potensi pengembangan KBE muncul di region perkotaan, khususnya Jabodetabek. Pembangunan kawasan industri yang mengarah ke timur kawasan perkotaan Jabodetabekjur, khususnya Kabupaten Bekasi, menjanjikan pembangunan ekonomi berbasis teknologi melalui pembangunan kawasan industri atau kota industri seperti MM21000 dan BFIE, EJIP, BIIE (Hyundai), Jababeka, Lippo (Delta Silicon), dan Deltamas (Greenland) (Hudalah dan Firman, 2012). Studi yang dilakukan Irawati dan Rutten (2011) membuka peluang kawasan perkotaan Jabodetabekjur untuk menjadi kawasan pembelajaran (learning regions) jika memiliki strategi pembangunan yang tepat, khususnya di industri otomotif. Kajian Irawati (2011) terkait industri otomotif oleh Toyota Motor Manufacturing Indonesia (TMMIN) mengambarkan adanya jalur ketergantungan melalui transfer pengetahuan di industri tersebut yang akan memberikan tapak untuk pembangunan ekonomi berbasis KBE di kawasan perkotaan (Martin dan Simmie, 2008). Lintasan industri dan teknologi Indonesia bervariasi, turun naik dan memiliki konteks tempat. Lintasan tersebut terlihat lebih positif apabila terhubungan dengan kota dan kawasan perkotaan (Yananda, 2016). 

Kawasan perkotaan menjadi tempat pengukuhan ekosistem perusahaan rintisan yang telah mencapai status decacorn, unicorn dan centaur. Perusahaan-perusahaan tersebut memperkuat posisi ekosistem untuk menarik sumber daya global. Kawasan perkotaan juga mampu menjadi tempat percepatan perkembangan perusahaan rintisan yang telah melakukan validasi model bisnis untuk skalabilitas dan pembangunan perusahaan yang mampu menawarkan produk dan layanan baru, atau memperkuat para inkamben. Bahkan kawasan perkotaan adalah tempat yang paling tepat untuk memulai perusahaan rintisan. 

Tantangan kawasan perkotaan Indonesia, khususnya di Jabodetabek, Bandung Greater Area, Surabaya Greater Area, dan lainnya seperti kawasan Yogyakarta, Semarang, Medan dan Makasar adalah menjadi ekosistem perusahaan rintisan secara lebih merata di Indonesia. Oleh karena itu, kota harus menjadi platform yang mampu mengolaborasikan kebijakan, keuangan, budaya, dukungan, sumber daya manusia, dan pasar. Pemerintah kota juga harus memiliki perencanaan dan program yang dapat memadukan kepentingan para pemain inkamben (decacorn, unicorn, centaur) dengan layanan perkotaan seperti UKM, transportasi dan pariwisata dan logistik dan lain-lain. Pemerintah kota juga harus mendorong perusahaan lokal yang baru merintis dengan menyediakan pengadaan untuk inovasi dan dukungan lain seperti tempat, konsultasi dan pelatihan, dan dukungan lainnya. Sharing City merupakan salah satu konsep dan praktik penyelenggaraan kota yang mendekati upaya tersebut.  


*Diikhtisarkan dari pembahasan tentang Ekonimi Berbasis  Pengetahuan  dalam buku Ekosistem Inovasi dan Kewirausahaan Rintisan (2020) karya M Rahmat Yananda dan Ummi Salamah. Pembaca yang berminat membaca buku tersebut, dapat memesannya di sini:  

https://tokopedia.link/lW52tQJgLcb


 









Comments

Popular Posts