Membaca Peta Global Ekosistem Inovasi

Damhuri Muhammad


Mengunggah PR anak-anak dengan tulisan tangan di laman grup WA sekolah, secara latah kita sebut dengan aktivitas di kurun Revolusi 4.0. Menggelar gosip-gosip remeh di platform konfrensi-video, juga kita klaim sebagai kegiatan di zaman Revolusi 4.0. Melakukan lelang ikan cupang atau batu akik dengan fasilitas live Facebook, juga disebut model bisnis zaman Revolusi 4.0. Bahkan menggunakan kamera-drone untuk pengiriman paket ganja kering pun kita sebut bagian dari bisnis era 4.0. Terminologi Revolusi 4.0 telah menjadi buzzword, bagai mantra pelipur lara guna menyelamatkan ketertinggalan kita di masa yang menurut historiografi industri dunia, masih berada di fase 2.0. Dalam perjalanannya, fase Industri 4.0 tak mungkin digapai tanpa fase 2.0 dan 3.0 sebagai pijakan dasarnya.  Prinsip Cyber Physical Sytem  hanya bisa bekerja dengan infrastruktur yang dibangun selama beberapa dekade di kurun 2.0 dan 3.0 (teknologi komputasi sebagai General Purpose Technology) yang ditapaki oleh berbagai industri perangkat keras seperti papan sirkuit (circuit board), semikonduktor, dan semacamnya. Sementara ketika orang-orang di belahan dunia lain telah memiliki rupa-rupa perangkat keras berbasis GPT di era 2.0, dan 3.0, agaknya kita masih menanam Kelapa Sawit, menambang Nikel dan Bauksit. Bagaimana mau bilang "kita sedang berada di era Industri 4.0" seperti yang tak henti-henti dipidatokan? Menapak di permukaan tanah keras saja belum, bagaimana mau kokoh berdiri di Era 4.0?



Buku bertajuk Ekosistem Inovasi dan Kewirausahaan Rintisan (2020) karya Muhammad Rahmat Yananda dan Ummi Salamah ini memetakan gerak perjalanan industri dengan memperlihatkan lintasan historis (trajectory) perjalanan panjang industrialisasi global sejak era mesin pertama, yang menurut ikhtisar Bryfjolfsson dan McAffe (2014) dalam The Second Age Machine Work, Progress, and Prosperity in Time of Briliant Technologies, telah mendorong Revolusi Industri, di mana temuan mesin uap oleh James Watt (1736-1819) mengatasi keterbatasan tenaga manusia, binatang (kuda) dan menghasilkan energi sesuai kebutuhan. Kehadiran mesin itu membuka kesempatan untuk membangun pabrik, transportasi massal, jalur kereta api, dan produksi massal. Era mesin pertama ini berlangsung dalam rentang waktu 1784-1870, yang ditandai oleh  pertumbuhan industri tekstil di mana mekanisasi dalam proses produksi massalnya digerakkan oleh energi mesin uap. Masa yang bergulir kurang lebih  86 tahun inilah yang kemudian disebut sebagai fase Industr 1.0,  dan ketika mesin uap digantikan oleh  energi listrik, maka gerak industrialisasi sampai pada fase 2.0. 

Sementara itu Era Mesin Kedua ditandai oleh  penemuan teknologi komputer dan internet. Masa ini disebut juga dengan era kekuatan mental, yaitu kemampuan manusia menggunakan otak untuk membentuk lingkungan, sebagaimana mesin uap dan turunannya menggantikan kekuatan otot. Teknologi komputer, terutama sejak Robert Noyce menemukan  Integrated Circuit (IC), pada akhir 1950-an di Fairchild Semiconductor (FCS) di Mountain View, AS. Noyce menerima paten pertama atas temuan teknologi semikonduktor itu  pada 1961. Ia menciptakan IC dari silikon, teknologi semikonduktor yang masih jadi pilihan sampai kini. Material silikon yang digunakan Noyce itu  kemudian dipilih sebagai penamaan bagi Silicon Valley, ibukota teknologi digital yang telah mengubah jalan hidup umat manusia di seluruh belahan dunia.  Noyce, pemegang gelar Ph.D jebolan MIT itu dielu-elukan sebagai "Thomas Edison dari Silicon Valley". 

Perangkat keras berbentuk microchip seukuran virus itu dapat mengalihkan dan memperkuat aliran sinyal elektronik guna membuat bit digital 1 dan 0 itu menggantikan teknologi  tabung vakum (vacuum tube) di masa sebelumnya. Microchip itu kini ada di mana-mana, tersebar tanpa terlihat di sepanjang hidup keseharian kita; komputer, TV, telepon pintar, mobil, dan aneka perkakas elektronik. Rata-rata rumah tangga abad ini adalah rumah bagi sekitar 1.000 semikonduktor yang bekerja dalam microchip itu. Meskipun sebagian besar orang menganggap remeh microchip, bagian kecil silikon itu telah menyumbang banyak dalam ledakan penciptaan kekayaan terbesar dalam sejarah manusia. 

Sementara pencapaian-pencapaian tak terbayangkan dari teknologi komputasi terus berlangsung selepas temuan IC, kolega Noyce bernam Gordon Moore, muncul dengan kontribusi yang dikenal sebagai Hukum Moore (Moore's Law). Dalam artikelnya di majalah Electronics pada 1965, Moore memprediksi jumlah transistor yang dapat dimasukkan ke dalam microchip (sekitar 60 pada saat itu) akan meningkat 1.000 kali lipat, menjadi 60.000 transistor pada 1975. Butuh puluhan tahun agar proyeksi Moore menjadi kenyataan, tetapi ia sangat jitu memprediksi ledakan komputer rumah, telpon seluler (yang disebutnya "peralatan komunikasi portabel"), jam tangan elektronik, mobil digital, dan perangkat elektronik lainnya. Setengah abad kemudian, "Hukum Moore" berlaku dan kita sedang berada di dalamnya. Pelipatgandaan pertumbuhan industri perangkat keras itu kemudian ditandai sebagai fase industri 3.0  

Dari tapak infrastruktur teknologi internet ini kemudian bermunculan para entreprenur dan inovator dengan perusahaan-perusahaan rintisan (Startup) berbasis teknologi digital. Dalam The Third Wafe: an Entreprenuer's Vision of the Future (2016), sebagaimana dikutip oleh Rahmat dan Ummi,   Steve Case, mantan CEO AOL (American Online), membuat klasifikasi Era Mesin Kedua ke dalam tiga gelombang, yaitu Gelombang Pertama (1985-1999) sebagai masa pembangunan infrastruktur internet, yang meletakkan fondasi dunia digital. Perusahaan seperti Cisco System, Sprint, Hewlett Packard, Sun Microsystem, Microsoft, Apple, International Business Machine (IBM), dan AOL, berperan membangun perangkat keras komputer (hardware). Ketersediaan perangkat keras memungkinkan orang-orang terhubung melalui internet.  Perusahaan-perusahaan tersebut menyediakan jalur informasi super cepat untuk pengguna internet yang menjadi wadah dan landasan perkembangan gelombang selanjutnya. Gelombang Kedua (2000-2015) adalah penggunaan  internet untuk kepentingan aplikasi kegiatan ekonomi dan mendorong secara cepat dan luas pemakaian perangkat komunikasi seluler (mobile revolution) seperti telpon pintar, Personal Data Assistant (PDA), dan tablet. Konvergensi telepon pintar dan tablet membuka peluang pemanfaatan internet untuk dapat dieksplorasi dan dieksploitasi secara maksimal. Amazon, eBay, Google (baik produk search engine dan Android), Apple (iPhone) adalah pelaku-pelaku awal yang berperan dalam gelombang kedua. Konvergensi tersebut ternyata memudahkan pengembangan aplikasi sosial (social apps) seperti Twitter dan Instagram, yang sebelumnya didahului oleh Facebook. Gelombang Ketiga (mulai 2016 s.d sekarang) adalah kehadiran internet yang telah menjadi kebutuhan dalam hampir semua kondisi kehidupan manusia. Di Gelombang Ketiga ini , kepemilikan internet yang tadinya berada di tangan korporasi terdistribusi kepada banyak pihak. Manusia hidup dalam Internet of Everything (IoT). 

Steve Case dan para pelaku lainnya di Gelombang Pertama adalah para pelopor. Case mengibaratkan para pelopor tersebut seperti tokoh protagonis dalam suatu film. Mereka muncul sebagai pahlawan (hero), yang datang untuk mengatasi masalah. Masa depan yang dinamis dan naik turun bergantung kepada ketokohan mereka. Mereka adalah orang-orang yang berani bermimpi dan bekerja, menciptakan teknologi baru dan mendobrak aturan ortodok. Para pelopor tersebut adalah para entreprenur, yang sebagian dari mereka mengawalinya sebagai inventor. 

Secara mekanis,  terminologi Industrial Revolution 4.0 yang telah menjadi buzzword abad ini,  adalah tranformasi dari sistem produksi global berbasis  teknologi elektronik dan informasi menjadi  teknologi berbasis sistem siber fisik atau Cyber-Physical System (CPS). CPS didukung oleh  sejumlah  komponen lain  yaitu  Mobile, Cloud Computing dan IoTBig Data, Data Mining (DM), dan Knowledge Discovery, serta  Internet of Service (IoS). Industri 4.0 mengubah paradigma produksi dari Craft Production (CP) di era 1.0,  Mass Production (MP) di era 2.0,  Mass Customization Production (MCP) di era 3.0, menjadi  Mass Personalization Production (MPP) di era 4.0. Di era MCP, pada akhir tahun 1980, pelanggan membutuhkan produk yang bervariasi dalam jumlah besar yang mendorong apa yang disebut dengan mass customization. Hal tersebut dimungkinkan karena perkembangan informasi, teknologi otomasi, dan komputer. Proses tersebut dapat bertambah cepat karena perkembangan teknologi tersebut menjadi industri berbasis robot, sistem manufaktur yang fleksibel, dan sistem integrasi komputer, seperti yang terjadi juga di sistem manajemen manufaktur, Product Life Manufacture (PLM), Enterprise Resource Planning (ERP), dan Manufacturing Executive System (MES). Meluasnya kehadiran internet dan komputasi, serta ketersediaan manufaktur yang responsif seperti Printer 3D, memunculkan kesempatan untuk paradigma baru pengadaan produk di mana produk dan jasa dirancang sesuai kebutuhan individual pelanggan. Pelanggan bersama-sama dengan manufaktur dan pelanggan lain dapat merancang produk. Proses perancangan bersama (co-design) dapat terjadi karena arsitektur produk bersifat terbuka dalam memanfaatkan sistem manufaktur on-demand. Hal ini didukung sistem CPS yang responsif melibatkan partisipasi pengguna dalam rancangan, simulasi maupun sertifikasi, manufaktur, proses pasokan dan perakitan, yang terjadi secara cepat sejalan dengan preferensi pelanggan.

Ada dua kata  kunci untuk memahami buku setebal 523 ini. Pertama,  Ekosistem Inovasi, istilah yang berkaitan dengan mata rantai keterhubungan infratruktur internet berbasis general purpose technology (GPT),entreprenur pelopor sebagai inovator, riset perguruan tinggi, keterlibatan pemerintah, dan modal ventura sebagai tapak dari pertumbuhan ekonomi digital melalui perusahaan rintisan (Startup) yang dapat mencapai skalabilitas jauh melampaui perusahaan-perusahaan konvensional .  Terma "inovasi"  yang dimaksud merujuk pada pengertian yang pertama kali dikemukakan oleh ekonom terkemuka Josep Schumpeter dengan kata kunci creative disruption atau kehancuran yang berdaya cipta. 

Temuan atas world wide web (www) yang diinisiasi oleh  Tim Berners-Lee misalnya, telah menjadi salah satu teknologi penting di abad 21. Web pertama diciptakan adalah Web 1.0, yang telah berkembang menjadi Web 2.0, Web 3.0, dan Web 4. 0. Web 1.0, yang juga disebut web tradisional, bertujuan untuk menyampaikan informasi. Web 2.0 di samping bertujuan untuk menyampaikan informasi (baca), pengguna juga dapat menuliskan pesan. Web ini juga bertujuan untuk membuka kesempatan kepada sesama pengguna untuk dapat berkomunikasi dan berinteraksi. Oleh karena itu disebutkan bahwa web ini berfokus pada orang. Web 3.0 berfokus kepada mesin yang mampu memahami informasi untuk kepentingan komputer (semantic dan meaningfull web) yang bertujuan melakukan agregasi informasi dan menawarkan pengalaman yang lebih produktif dan intuitif kepada pengguna. Sementara itu, Web 4.0 bertujuan untuk memaksimalkan potensi kecerdasan. Web 4.0 adalah satu agen (komputer) yang dapat berpikir, berkomunikasi, dan berkolaborasi dengan agen lain dalam suatu sistem mewakili kepentingan pemakai. Saat ini kita sedang berada di masa Web 4.0 itu.

Kemajuan teknologi yang sejalan dengan perkembangan Web 2.0 memungkinkan pengembangan platform untuk mempromosikan konten yang dihasilkan atau yang diproduksi oleh pengguna (user-generated content, biasa disingkat UGC) secara bersama dan bersifat kolaboratif. Contoh UGC yang diketahui adalah blog, wiki, ensiklopedia daring (Encyclopedia Britanica), dan konten-konten di era Web 1.0. Web 2.0 dengan beragam fitur pelengkap yang menggerakkan evolusi platform media sosial. 

Kehadiran Web 2.0 membuka era baru platform karena beberapa alasan : (1) pergeseran dari aplikasi berbasis hak cipta menjadi sumber terbuka yang menyebar luas sebagai platform global dan melekat pada protokol internet. (2) evolusi dari perkembangan generasi terbaru web, yaitu dari web statis menjadi web dinamis. Web tidak hanya bersifat mandiri tetapi juga merupakan suatu platform yang menyediakan data dan layanan untuk memfasilitasi ekosistem baru sepenuhnya. 

Oleh karena itu, bisnis dalam sistem ekonomi digital harus membangun platform, bukan hanya produk. Bisnis platform sudah berkembang di mana-mana seperti Taobao, Amazon Marketplace  (ritel), Youtube, Forbes.com (media); Google, Baidu, Craiglist (iklan).; PayPal, Kickstar, Alipay (keuangan); Xbox,PlayStation (permainan); iOS, Android, Xiaomi (komputasi bergerak); SAP, Salesforce (perangkat lunak); Philips, Nest (peralatan rumah tangga); Airbnb, TripAdvisor (hospitality); Uber,Didi  (transportasi); Coursera, Udemy (pendidikan); LinkedIn, Glassdoor (lapangan kerja); Upwork, Amazon Mechanical Turk (pekerja lepas); dan Kiva, DonorsChose (filantrofi). Platform merepresentasikan perubahan fundamental dalam cara bisnis berhubungan satu dengan lainnya, dari model bisnis linear menjadi model bisnis jaringan. 


Trend ini menandai peralihan desain bisnis dari model pipa (pipe) ke model bisnis platform. Peralihan model bisnis tersebut dapat terjadi melalui 3 kunci yaitu: (1) peralihan dari model linear konsumen kepada produsen menjadi model yang memberdayakan konsumen agar dapat juga menjadi produsen (prosumer); (2) peralihan dari keunggulan kompetitif sumber daya kepada ekosistem; dan (3) peralihan dari penciptaan nilai dari proses kepada interaksi. Model bisnis platform didorong oleh kemampuan mengorkestrasikan ekosistem yang terkoneksi secara global mulai dari produsen dan konsumen secara efisien dalam menciptakan nilai dan pertukaran. Model bisnis platform mampu mengungguli model bisnis sebelumnya karena skala platform lebih efisien. Platform menghilangkan fungsi penjaga gerbang (gatekeepers), platform juga mampu membuka sumber daya baru dalam penciptaan nilai dan penawaran.  Platform memanfaatkan perangkat basis data untuk menciptakan umpan balik dalam komunitas. Selain itu,  platform mengalihkan bisnis dari fungsi internal menjadi fungsi eksternal, dari marketing ke teknologi informasi menuju operasi ke strategi, yang keseluruhannya meningkatkan pemusatan kepada orang, sumber daya dan fungsi- fungsi yang berada di luar bisnis, melengkapi atau menggantikan semua yang bersumber dari dalam bisnis tradisional. Tipologi platform dapat dibagi atas platform transaksi, platform inovasi, platform integrasi, dan platform investasi. 

Kegagalan yang dialami oleh Blackberry adalah contoh kekalahan dalam persaingan ekosistem platform. Blackberry berpikir bahwa situasi bisnis baik-baik saja. Mereka memiliki konsumen yang loyal, produk inovatif yang direkayasa dengan baik, serta mendapat ulasan positif dari para kritikus. Lalu, pertumbuhan produk Blackberry tiba-tiba terganggu oleh perkembangan Apple dan Google. Blackberry kemudian mengambil langkah-langkah dengan memberikan harga yang lebih kompetitif, berinvestasi lebih banyak untuk produk baru, memperbaharui sistem operasi (OS), dan meningkatkan pemasaran. Ternyata langkah-langkah tersebut tidak mengubah keadaan dan tidak mampu menjawab masalah yang sebetulnya terjadi. Masalah sebenarnya bukanlah pertarungan antara Blackberry dengan Apple, namun pertarungan antara ekosistem Blackberry dengan eksosistem Apple. Atau lebih tepatnya, pertarungan ekosistem Blackberry dengan ekosistem iOS Google dan Apple. Blackberry telah membangun produk yang bagus, namun tidak mengembangkan ekosistem pendukung. Akibatnya Blackberry tertimpa Red Queen Effect, atau ketidakmampuan beradaptasi secara cepat dengan lingkungan bisnis atau lingkungan teknologi... 

Kata kunci kedua adalah entreprenur, sebagai pelaku inovasi yang menggerakan ekonomi berbasis pengetahuan (Knowledge-based Economy). Buku ini mencurahkan perhatian pada penggalian pengalaman kewirausahaan rintisan para ikon terkemuka dalam ekonomi digital global sejak dari Steve Jobs (Apple), Jeff Bezos (Amazon), Travis Kalanick dan Garreth Camp (Uber), Brian Chesky, Joe Gebbia dan Nathan Blecharczyk (AirBnb) hingga Jack Ma (Alibaba) berikut dengan kisah-kisah tentang pencapaian besar mereka dalam mendisrupsi model bisnis sebelumnya. Secara cermat dan rinci,  buku ini memetakan trajectory (jejak lintasan sejarah) bangsa-bangsa lain merancang ekosistem inovasi sejak dari perkembangan mula-mula dari klaster inovasi Silicon Valley, AS, yang kemudian menular ke Cina dengan Zhongguancun Techno Park dan India dengan Bangalore sebagai pusat ekosistem inovasinya. Kedua penulis juga melakukan penggalian yang mendalam terhadap pengalaman entreprenur-pelopor di tanah air, seperti seperti Ahmad Zaky (Bukalapak), Ferry Unardi (Traveloka), Nadiem Makarim (Gojek), dan Victor Fungkong (Tokopedia). Kepeloporan dan perjuangan mereka telah menginisiasi perusahaan-perusahaan itu menjadi unicorn. Namun, menurut penelusuran Rahmat dan Ummi,  Indonesia memiliki kelemahan seperti kurangnya jumlah perusahaan rintisan, perusahaan rintisan yang terkonsentrasi di sektor e-commerce, dan pesatnya pertumbuhan fintech (tapi bakat-bakat pendukung seperti pengembang perangkat lunak belum memadai). Para inovator dalam ekosistem di Indonesia masih membutuhkan suatu bentuk tata kelola guna mengolaborasikan mereka. Jika ekosistem tidak mampu menyediakan bakat yang mampu mengembangkan teknologi bagi layanan jasa e-commerce misalnya, aktornya akan mendapatkannya dari ekosistem lain. Kegagalan “interaksi” itu menyebabkan ekosistem inovasi sulit berkembang. Situasi ini "mengancam" para entreprenur rintisan yang sedang berjuang maupun yang baru memulai. Ekosistem yang relevan dengan kondisi bisnis rintisan Indonesia harus dikonstruksi dan dipromosikan. Buku ini disertai dengan sejumlah data terkini tentang pencapaian-pencapaian Indonesia dalam membangun konstruksi ekonomi berbasis pengetahuan (Knowledge-based Economy) dengan berbagai indikator dan parameternya. Studi pustaka yang mengandalkan sumber-sumber otoritatif ini akhirnya secara tidak langsung dapat menunjukkan di mana letak Indonesia dalam peta global ekosistem inovasi. Tanpa membangun ekosistem inovasi, maka imajinasi tentang Revolusi Industri 4.0 alih-alih melahirkan  para entreprenur penerus sebagai pelaku yang menggerakkan ekonomi berbasis pengetahuan, justru akan membuat kita menjadi pengguna setia teknologi digital, yang saban hari mengumbar buzzword Industri 4.0 sebagai mantra pelipur lara dalam pesta pora keberlimpahan laba yang diraup  oleh  segenap pemain besar...       

Damhuri Muhammad
Kolumnis, esais
Pengajar Filsafat Universitas Darma Persada, Jakarta


DATA BUKU

Judul      : Ekosistem Inovasi & Kewirausahaan Rintisan

Penulis   : Muhammad Rahmat Yananda & Ummi Salamah

Penerbit : BinaBuku, Jakarta

Cetakan : I, 2020 (paperback 14 x 21 cm)

Tebal.    :  523 halaman

Pembaca yang berminat memiliki buku ini, dapat melakukan order di link berikut;

 





     

 

  



    






Comments

Popular Posts