Jabodetabek: Sebuah Kemungkinan Ekosistem Inovasi Berbasis Perkotaan

Silicon Valley adalah model ekosistem yang ideal menurut banyak pihak. Akan tetapi tiap ekosistem di berbagai negara memiliki jejak yang berbeda satu sama lain. Jejak merupakan lintasan kelembagaan yang memunculkan pengusaha dan perusahaan rintisan (startup) dalam suatu ekosistem, meliputi kemampuan untuk mengembangkan lingkungan fisik (infrastruktur teknologi dan pendukungnya), yang menghasilkan temuan sains dan teknologi, menciptakan entreprenur dan budaya kewirausahaan (entrepreneurship), dan yang tak kalah pentingnya adalah mendapatkan dukungan dari regulasi dan pemerintah. 






Perkembangan ekosistem ditentukan oleh lintasan teknologi, sistem dan ekosistem inovasi, selain perkembangan kondisi ekonomi berbasis pengetahuan (knowledge-based economy). Silicon Valley, Zhonguancun dan Bangalore adalah contoh-contoh sukses ekosistem inovasi dengan jejak lintasan yang kuat. Walaupun Zhongguancun dan Bangalore terinspirasi dari model pengembangan Silicon Valley, kedua ekosistem negara besar di Asia itu memunculkan karakter lintasan masing-masing. Sementara itu, Indonesia memiliki kondisi ekonomi berbasis pengetahuan (termasuk kelembagaan inovasi) yang berbeda dengan ekosistem tersebut di atas. Mengingat keunikannya,  Indonesia dapat membangun ekosistem sendiri sesuai kebutuhan untuk mengembangkan entreprenur teknologi yang membangun perusahaan rintisan.

Banyak kawasan mencoba mengikuti jejak Silicon Valley dan melakukan replikasi untuk mendapatkan hasil serupa. Hal ini dilakukan oleh berbagai ekosistem perusahaan rintisan, termasuk Zhongguancun dan Bangalore. Selain meniru, masing-masing kawasan memiliki pola unik dalam mengembangkan ekosistem inovasi. Keberadaaan Silicon Valley, Zhongguancun maupun Bangalore dalam satu kawasan tidak lepas dari konsep sistem inovasi berbasis kawasan, yaitu regional innovation system (RIS) yang dalam bahasa Indonesia dikenal dengan Sistem Inovasi Regional (SIR). Sistem ini merupakan kumpulan interaksi untuk menghasilkan pengetahuan dan memanfaatkan subsistem yang terkait dengan sistem-sistem global, nasional dan regional atau kawasan lain (Cooke, 2004). Tingkatan kawasan atau regional, berikut kekhususan dan sumber daya yang dimiliki kawasan tersebut, penting bagi perusahaan untuk membangun daya saing global. 

Sistem inovasi regional mencakup jaringan inovasi yang melekat pada wilayah tersebut, baik aspek geografi, sosial dan budaya. Oleh karena itu diperlukan perencanaan yang mempertimbangkan karakter wilayah dan pengalaman serta pendidikan individu yang ada di dalam wilayah tersebut selain integrasi dengan jaringan inovasi nasional (Asheim dan Isaksen, 2002). Perusahaan rintisan yang berbasis teknologi sangat tergantung pada lingkungan dan sistem inovasi kawasan tersebut (dalam Trunina, Liu dan Chen, 2018). 

Ekosistem inovasi dan kewirausahaan Indonesia menentukan kemajuan dan kelanjutan dari daya saing bangsa karena berperan sebagai wadah kelahiran, pertumbuhan dan kematangan perusahaan rintisan menjadi unicorn. Lintasan perkembangan Silicon Valley, Zhongguancun dan Bangalore memberikan wawasan guna mempercepat dan memperluas ekosistem perusahaan rintisan Indonesia. Situasi ekosistem inovasi dan kewirausahaan Indonesia berbeda dengan Amerika Serikat, Cina dan India. Namun catatan penting perlu diberikan kepada peran signifikan sektor publik atau pemerintah, khususnya di Cina dan India. Pemerintah di Cina membangun strategi yang berorientasi nasional dengan memajukan kelembagaan inovasi, mendorong dan mendukung aktor, bahkan mengarahkan jenis produk dan jasa. Sementara India mengarahkan produk dan jasa melalui pengembangan industri, penyiapan insitusi pendukung dan SDM secara sektoral.

Pembangunan ekosistem inovasi dan kewirausahaan Indonesia berdasarkan kekuatan dan kesempatan yang dimiliki diharapkan mampu mendorong lahirnya entreprenur yang membangun perusahaan rintisan dalam jumlah besar di daerah perkotaan yang memiliki infrastruktur yang baik dengan kekuatan pasar yang memadai. Kekuatan dan kesempatan tersebut mendorong pemangku kepentingan lain seperti investor, lembaga pendidikan dan pelatihan untuk bersama-sama menumbuhkembangkan ekosistem tersebut. Dan, elemen penting lainnya adalah pemerintah yang menginisiasi secara terpisah atau bersama-sama aktivitas berbasis proyek, pertukaran sumber daya, dan perencanaan.

Dibandingkan Cina dan India, ekosistem inovasi dan kewirausahaan Indonesia memiliki sejumlah kendala. Indonesia gagal memaksimalkan ruang inovasi dan kewirausahaan berbasis tempat, yaitu kawasan perkotaan. Kawasan seperti Jakarta-Bogor-Depok-Tangerang-Bekasi-Cianjur (Jabodetabekjur) adalah kawasan yang layaknya padu secara politik dan administrasi, ekologi, ekonomi dan sosial untuk  dapat menjadi ruang inovasi. Promosi sebagai ruang inovasi untuk KBE (knowledge-based economy) membutuhkan dukungan Sistem Inovasi Nasional (SIN) dan Sistim Inovasi Daerah (SID). Khususnya di kota Bogor, Depok dan Tangerang Selatan, ternyata dukungan itu belum tersedia. Momentum pembangunan nasional berbasis pengetahuan (MP3EI) terkait potensi yang dimiliki kawasan perkotaan, khususnya revitalisasi Pusat Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (Puspiptek) juga terlewatkan (Yananda, 2016).

Cina dan India saat ini memetik hasil kebijakan publik yang mereka tanam dalam menumbuhkan inovasi dalam ekosistem seperti Zhongguancun dan Bangalore. Peran sektor publik menonjol dalam pembangunan ruang inovasi yang diperlukan untuk memaksimalkan KBE di era digital  telah ditunjukkan melalui kemajuan yang dicapai kedua negara tersebut. Perhatian terkait dampak sektor publik yang melahirkan dukungan untuk KBE telah lama mendapatkan sorotan, khususnya kemitraan publik dan privat, dengan mengakui semakin pentingnya pelengkap kelembagaan dan ekonomi untuk KBE. Pendekatan ini dinamakan constructed advantage yang berbeda dengan pendekatan comparative advantage yang mengabaikan pentingnya teknologi atau pendekatan competitive advantage yang hanya memperhitungkan pasar (Cooke dkk., 2006). 

Regionalisasi pembangunan ekonomi terkosentrasi di beberapa kawasan perkotaan seperti Jabodetabek (Jakarta Greater Area), Surabaya Greater Area dan Bandung Greater Area.  Kawasan perkotaan itu dihuni populasi besar dan padat yang menjadi pasar potensial. Sepanjang koridor Jakarta-Bandung, Jakarta-Banten dan Jakarta-Bogor tumbuh klaster industri yang didukung oleh klaster perumahan, perbelanjaan, dan pendidikan. Ketiga greater area tersebut mendapatkan pelayanan infrastruktur yang memadai, baik transportasi maupun teknologi informasi dan komunikasi (ICT). 

Kawasan perkotaan memiliki perguruan tinggi dan lembaga riset publik. Tiga perguruan tinggi penting, yaitu Universitas Indonesia (UI), Institut Teknologi Bandung (ITB) dan Institut Pertanian Bogor (IPB) bergabung di 2 greater area Jakarta dan Bandung, dilengkapi dengan lembaga riset publik, seperti Puspiptek di Tangerang Selatan. Kota lain seperti Yogyakarta memiliki Universitas Gadjah Mada (UGM), dan Surabaya memiliki Universitas Airlangga (Unair) dan Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS). Kota-kota tersebut telah lama berinteraksi dengan lembaga riset tetapi belum menunjukkan luaran (output) yang signifikan dalam konteks ekonomi berbasis pengetahuan (KBE). 

Perusahaan rintisan Indonesia dominan berlokasi di kawasan perkotaan, khususnya Jabodetabekjur. Menurut laporan MIKTI 2018 yang juga sejalan dengan temuan umum EV-DCI 2020, MIKTI menyebutkan 522 perusahaan rintisan berlokasi di Jabodetabek. Jumlah ini setara dengan 52.62% dari jumlah keseluruhan perusahaan rintisan. Empat unicorn asal Indonesia (Gojek, Tokopedia, Traveloka dan Bukalapak) semuanya berlokasi di Jakarta. Perusahaan-perusahan rintisan lain di lapis selanjutnya seperti OVO, Ruang Guru, Halodoc, IDN Times juga berpusat di Jakarta. Jabodetabek dengan penduduk sekitar 32 juta jiwa merupakan pasar yang potensial. Dan Jakarta sebagai pusat Jabodetabek mendapatkan infrastruktur terbaik seperti transportasi, ICT, pendidikan, pemerintahan, ekonomi dan keuangan, dan lain-lain sehingga unggul sebagai kawasan perkotaan. 

Pengakuan terhadap Jakarta sebagai salah satu ekosistem challenger untuk perusahaan rintisan adalah peluang yang harus dimaksimalkan sebagai strategi mengejar ketertinggalan (catch-up strategy). Berbeda dengan Cina dan India yang memiliki rancangan kawasan inovasi yang terencana dan terselenggara dalam bentuk distrik industri, klaster dan Sistem Inovasi Regional seperti Zhongguancun dan Bangalore, Indonesia belum memiliki kawasan tersebut. Pemerintah pernah merancang kawasan industri elektronik seperti Batam dengan penyelenggara khusus berbentuk otorita tetapi kawasan tersebut tidak memiliki daya saing. 


Batam dikembangkan karena kedekatan dengan Singapura dan digunakan sebagai jaringan logistik, taman industri dan tempat relokasi perusahaan dari Singapura untuk mendapatkan upah buruh yang lebih kompetitif. Sejak 1999, dimulai dengan 4 perusahaan, lintasan industri Batam berkembang kuat dan mencapai puncaknya di tahun 2003 dengan 99 perusahaan. Pada 2004, tren ini menurut menjadi 64 perusahaan meski di tahun 2009 naik lagi menjadi 79 perusahaan untuk kemudian turun menjadi 50 perusahaan di 2010 dan jumlah ini terus bertahan hingga 2012. Dapat disimpulkan, lintasan industri di Batam mengalami penurunan (van Grunsven dan Hutchinson, 2017). 

Batam adalah kisah kegagalan membangun lintasan industri yang menjadi fondasi untuk maju ke tahapan industri yang lebih maju sebagaimana dilakukan Cina di Zhongguanun dan India di Bangalore. Sementara itu pengembangan industri strategis seperti industri pertahanan ternyata juga belum menunjukan dampak signifikan dan belum menyediakan pijakan yang kuat untuk lintasan teknologi dan industri Indonesia. Industri pertahanan di Amerika Serikat, Cina dan India menjadi platform kemajuan industri dan teknologi sipil. Sementara industri strategis Indonesia bahkan ditenggarai mengalami keruntuhan. 

Potensi pengembangan ekonomi berbasis pengetahuan muncul di region perkotaan, khususnya Jabodetabek. Pembangunan kawasan industri yang mengarah ke timur kawasan perkotaan Jabodetabekjur, khususnya Kabupaten Bekasi, menjanjikan pembangunan ekonomi berbasis teknologi melalui pembangunan kawasan industri atau kota industri seperti MM21000 dan BFIE, EJIP, BIIE (Hyundai), Jababeka, Lippo (Delta Silicon), dan Deltamas (Greenland) (Hudalah dan Firman, 2012). Studi yang dilakukan Irawati dan Rutten (2011) membuka peluang kawasan perkotaan Jabodetabekjur untuk menjadi kawasan pembelajaran (learning regions) jika memiliki strategi pembangunan yang tepat, khususnya di industri otomotif. Kajian Irawati (2011) terkait industri otomotif oleh Toyota Motor Manufacturing Indonesia (TMMIN) mengambarkan adanya jalur ketergantungan melalui transfer pengetahuan di industri tersebut yang akan memberikan tapak bagi pembangunan ekonomi berbasis pengetahuan di kawasan perkotaan (Martin dan Simmie, 2008). Lintasan industri dan teknologi Indonesia bervariasi, turun naik dan memiliki konteks tempat. Lintasan tersebut terlihat lebih positif apabila terhubungan dengan kota dan kawasan perkotaan (Yananda, 2016). 



Kawasan perkotaan menjadi tempat pengukuhan ekosistem perusahaan rintisan yang telah mencapai status decacorn, unicorn dan centaur.Perusahaan-perusahaan tersebut memperkuat posisi ekosistem untuk menarik sumber daya global. Kawasan perkotaan juga mampu menjadi tempat percepatan perkembangan perusahaan rintisan yang telah melakukan validasi model bisnis untuk skalabilitas dan pembangunan perusahaan yang mampu menawarkan produk dan layanan baru, atau memperkuat para inkamben. Bahkan kawasan perkotaan adalah tempat yang paling tepat untuk memulai perusahaan rintisan. 

Tantangan kawasan perkotaan Indonesia, khususnya di Jabodetabek, Bandung Greater Area, Surabaya Greater Area, dan lainnya seperti kawasan Yogyakarta, Semarang, Medan dan Makassar adalah menjadi ekosistem perusahaan rintisan secara lebih merata di Indonesia. Oleh karena itu, kota harus menjadi platform yang mampu mengolaborasikan kebijakan, keuangan, budaya, dukungan, sumber daya manusia, dan pasar. Pemerintah kota juga harus memiliki perencanaan dan program yang dapat memadukan kepentingan para pemain inkamben (decacorn, unicorn, centaur) dengan layanan perkotaan seperti UMKM, transportasi dan pariwisata dan logistik dan lain-lain. Pemerintah kota juga harus mendorong perusahaan lokal yang baru merintis dengan menyediakan pengadaan untuk inovasi dan dukungan lain seperti tempat, konsultasi dan pelatihan, dan dukungan lainnya. Sharing City merupakan salah satu konsep dan praktik penyelenggaraan kota yang mendekati upaya tersebut.

Di samping mendapatkan manfaat urbanisasi, kawasan perkotaan telah menjadi basis daya saing pembangunan ekonomi suatu bangsa. Melengkapi perkembangan ekonomi terkini, yaitu ekonomi berbasis ilmu pengetahuan (KBE), maka peran pembangunan ekonomi perkotaan menjadi semakin strategis. Kawasan perkotaan Jabodetabekjur memiliki kesempatan untuk menjadi motor penggerak KBE karena memiliki kelengkapan insfratruktur (urban advantage) sebagai suatu learning regions (Irawati dan Rutten, 2011; Yananda, 2016; 2017). Peluang kolaborasi 3  kota di kawasan tersebut menjadi strategis dengan melibatkan Kota Bogor, Kota Depok dan Kota Tangerang Selatan sebagai kota-kota yang berbatasan langsung dengan DKI Jakarta.  Learning regions sebagai kolaborasi pembangunan ekonomi perkotaan akan membantu mengurangi tekanan terhadap kota inti, yaitu DKI Jakarta. 

Berdasarkan penelitian Yananda (2016) dan Yananda dkk (2017), tekanan terhadap Jakarta karena kemacetan, banjir, ketimpangan ekonomi dan sosial, membutuhkan kehadiran para entreprenur perkotaan. Kawasan perkotaan Jabodetabekjur dapat memunculkan pusat pertumbuhan ekonomi baru dan meningkatkan daya saing kota-kota di Jabodetabekjur agar pemusatan kegiatan dan orang ke DKI Jakarta dapat dikurangi dan disebar ke kota-kota lainya. Memanfaatkan KBE, pembangunan kawasan pembelajaran (learning regions) dengan memanfaatkan tata kelola kolaborasi adalah salah satu pilihan, khususnya untuk tiga kota yaitu Bogor, Depok dan Tangerang Selatan.




Kota Bogor, Kota Depok dan Kota Tangerang Selatan memiliki basis infrastruktur perkotaan yang berpotensi dikembangkan menjadi learning regions karena setidaknya terdiri dari triple helix (Etzkowitz, 2008). Ketiga kota tersebut memiliki perguruan tinggi yang telah memiliki tradisi panjang di Indonesia, yaitu Institut Pertanian Bogor (IPB) di Bogor, Universitas Indonesia (UI) di Depok dan Universitas Islam Negeri (UIN) di Tangerang Selatan. Di samping itu, ketiga daerah ini merupakan kawasan perkotaan yang telah memiliki pemerintahan yang mandiri dengan fungsi-fungsi kota yang memadai, jumlah penduduk yang mencapai skala ekonomi, dan kelengkapan infrastruktur fisik (terhubung dengan jalan tol) serta menikmati kemajuan dan akses teknologi informasi dan komunikasi (ICT) sebagai kota-kota yang mendapatkan luberan pembangunan Jakarta. Tiga kota tersebut juga dapat menjadi pusat pertumbuhan bersama dengan peran yang telah lama dilakukan kota Jakarta. 

Kota Bogor, Depok dan Tangerang Selatan berkolaborasi untuk membentuk ekosistem inovasi dan kewirausahaan berbasis perkotaan dengan mengacu kepada Isaksen (2001) yang menyatakan learning regions sebagai,”…peningkatan kooperasi terorganisasi  dari sekumpulan luas organisasi sipil dan otoritas publik yang melekat pada struktur sosial dan regional”.  Interaksi dan relasi berdasarkan anggota heliks dalam daerah administrasi, luar daerah administrasi dan kesamaan fungsinya membuka kemungkinan kolaborasi yang relatif banyak dan tumpang tindih. Untuk menjaga kolaborasi tersebut efektif sesuai dengan tujuan para heliks dalam membangun learning regions, maka jenis dan aktivitas kolaborasi perlu dilakukan dengan: Pembuatan kebijakan, pertukaran sumber daya; dan proyek bersama. Ketiga kategori ini didasarkan pada data-data yang mendukung masing-masing heliks untuk terlibat dalam tipe dan aktivitas kolaborasi yang sesuai. 



Kolaborasi pihak-pihak yang menjadi elemen pembentuk learning regions dengan serangkaian tipe dan aktivitas menggunakan kerangka kolaborasi manajemen publik. Kerangka tersebut dipinjam sejalan dengan realitas yang ada pada kota-kota tersebut dan kebutuhan pengonstruksian learning regions di regions 3 kota. Kolaborasi region 3 kota melibatkan pilar, elemen, dan infrastruktur pembentuk learning regions

Kota Bogor dengan basis inovasi IPB (Bogor Life Science and Technology) memiliki lintasan teknologi yang beragam dalam proses industrialisasinya. Akan tetapi, tidak ada satu teknologi atau basis industri yang menonjol dalam industri kota tersebut. Dan industri di kota Bogor ternyata lebih banyak menggunakan teknologi medium rendah dan teknologi rendah. Oleh karena itu, industri kota Bogor perlu mengungkit produk-produk mereka dengan memanfaatkan teknologi yang lebih baik, misalnya pengembangan obat-obatan. IPB melalui BLST mampu mengungkitnya dengan memanfaatkan penelitian dan berbagai temuan yang telah mereka hasilkan. BLST juga mampu mengungkit produk kuliner kota Bogor dengan inovasi baru terkait penambahan material baru yang memberikan nilai tambah maksimal. Oleh karena itu pemerintah kota sebagai entreprenur publik dapat mengembangkan platform co-branding kota dengan produk-produk BLST.  





Sebagai kota yang memiliki lintasan riset karena kehadiran beragam lembaga riset publik dan NGO, Bogor memiliki asosiasi kuat dengan “tempat penelitian yang berorientasi lingkungan/biologi dan pertanian”. Brand bersama produk Bogor Life Science and Technology (BLST) dengan kota Bogor memunculkan kebaruan. Di era media sosial tentu saja dapat membangun citra bersama produk dan kota dapat diskalabilitaskan, misalnya dengan brand Serambi Botani.Pemerintah Kota Bogor muncul sebagai entreprenur publik yang mempromosikan produk berbasis lokal dengan bersama-sama membangun brand kota. Apalagi brand Serambi Botani yang dikelola oleh BLST adalah unit usaha yang bernaung di bawah Institut Pertanian Bogor (IPB). Brand Serambi Botani sendiri telah tersebar di Jabodetabek, Surabaya, Palembang dan Riau berbentuk gerai. 

Co-branding kota Bogor dengan Serambi Botani dapat saja dalam bentuk proyek bersama yang bersifat sementara untuk membangun citra dan reputasi kota. Kota Bogor berkepentingan untuk menjadi pusat MICE (meeting, invention, convention, exhibition) yang berorientasi riset dengan tema lingkungan atau biologi dan pertanian. Sebagai kota destinasi wisata, Bogor dapat mendorong brand Serambi Botani sebagai bagian dari pemasok toiletries hotel dan penginapan di kota tersebut. Co-branding tersebut juga dapat menjadi pilot yang mendorong produk sejenis dengan menjadikan BLST sebagai inkubasi pengembangan produk dengan dukungan pemerintah daerah, misalnya dalam pendanaan untuk pengembangan, validasi dan pembemtukan badan usaha. Setelah itu, BLST dan pemerintah daerah dapat melepas produk tersebut dengabn badan usaha mandiri. 

Sementara itu, Kota Depok mengandalkan pengembangan industri kreatif yang mulai tumbuh subur di kota tersebut. Industri kreatif kota Depok juga perlu mengungkit konten teknologi dengan mengembangkan industri kreatif berbasis komputer dan perangkat lunak. Universitas Indonesia (UI) melalui DIIB (Direktorat Inovasi dan Inkubator) berkolaborasi dengann komunitas kreatif kota Depok seperti Code Margonda sebagai hub perusahaan rintisan dan coworking dan event space membantu pengembangan (inkubasi) dan percepatan (akselerasi) produk dan layanan perusahaan rintisan berbasis kota Depok.


Kolaborasi yang dapat dilakukan DIIB dan Code Margonda menjadi platform strategi bersama transformasi digital produk dan layanan kota. Depok dapat bertransformasi menjadi kota yang menyelenggarakan perencanaan dan perancangan berbasis platform. Aplikasi pendukung dapat disediakan oleh DIIB dan Code Margonda yang melakukan inkubasi bisnis rintisan. Produk layanan kota yang luas dari layanan pendidikan, transportasi, kebersihan, energi dan lain-lain membutuhkan kewirausahaan rintisan. Upaya ini menjadi penting karena banyak kota-kota di Indonesia ingin bertransformasi menjadi smart city tapi gagal melakukannya. Pemerintah kota dapat menyediakan anggaran pengadaan untuk kepentingan inovasi membantu inkubasi dan akselerasi yang dilakukan DIIB dan Code Margonda.

Kota Tangerang Selatan (termasuk sebagian kabupaten Tangerang dan kota Tangerang) dapat menjadikan Puspiptek sebagai basis inovasi. Puspiptek melakukan banyak penelitian sebagai platform utama penelitian ilmu pengetahuan dan teknologi di Indonesia. Tangerang Selatan yang awalnya merupakan kota permukiman juga direncanakan untuk pengembangan manufaktur di Taman Tekno. Taman Tekno BSD City memberikan kesempatan kepada investor dan penyewa opsi gudang yang dapat berfungsi sebagai ruang pamer atau kantor. Kompleks baru ini, sebuah gudang multi guna yang dibangun di atas tanah seluas 2,3 ha. Terletak di kawasan industri BSD City, Pergudangan Taman Tekno, hanya berjarak 100 meter dari gerbang utama. Sifat multifungsinya didukung oleh infrastruktur tingkat pertama, menyediakan layanan untuk semua kebutuhan industri. Pergudangan Taman Tekno menyediakan jalan beton untuk aksesibilitas truk tugas berat, listrik yang terpelihara dengan baik, air, serta layanan telepon dan pasokan. 

Taman Tekno dapat menjadi basis pengembangan industri berbasis KBE. Tangerang Selatan juga menjadi lokasi kampus-kampus swasta yang dikenal melahirkan para profesional bisnis dan teknologi (ICT) seperti Bina Nusantara, Prasetia Mulya, Multimedia Nusantara dan lain-lain. Tangerang Selatan juga menjadi lokasi baru kantor pusat perusahaan-perusahaan multinasional. Keberadaan Puspiptek sebagai salah satu pusat pengembangan ilmu pengetahuan dan inovasi membuka banyak peluang. Keberadaan Taman Tekno yang mampu mengembangkan inkubasi produk sampai dengan proses manufaktur menjembatani inovasi dalam arti yang lebih luas.

Tangerang Selatan mampu menjadi hub utama bagi ketiga kota tersebut untuk mempromosikan produk tiap-tiap heliks maupun produk hasil kolaborasi heliks-heliks tersebut. Pemerintah ketiga kota dapat berkolaborasi mengambil inisiatif untuk menjadikan Tangerang Selatan sebagai pusat aktivitas dan hasil kolaborasi. Pemerintah kota Tangsel dapat berperan lebih besar dengan mengembangkan kebijakan-kebijakan yang mendukung.

Menjadikan ketiga kota sebagai platform sharing produk dan layanan berbasis KBE dengan menggunakan manajemen kolaborasi tidaklah semudah membayangkan apa yang telah berlangsung di Seoul. Bahkan sebagian paparan di atas masih sebatas usulan yang dapat diimpelementasikan masing-masing kota maupun bersama-sama. Akan tetapi ketiga kota tersebut memiliki potensi berkembang sebagai ekosistem inovasi dan kewirausahaan berdasarkan lintasannya sebagai kota atau kawasan perkotaan. Elemen-elemen pembentuk ekosistem sebagian telah tersedia seperti  sumber daya manusia, pendanaan, budaya, dukungan, dan pasar. Semua elemen tersebut akan dapat bekerja bersama-sama memaksimalkan manfaat dan keunggulan perkotaan melalui kebijakan yang tepat dari pemerintah. Pemerintah kota membutuhkan entreprenur publik. Masalah perkotaan adalah peluang untuk pengusaha rintisan yang berkarakter urbanprenur.  Kota yang diselenggarakan dengan prinsip sharing dan manajemen kolaborasi mewadahi upaya-upaya rintisan, entreprenur dan perusahaan. 


*artikel ini diikhtisarkan dari pembahasan tentang Ekosistem Inovasi Berbasis Kawasan Perkotaan dalam buku Ekosistem Inovasi dan Kewirausahaan Rintisan (2020), karya Muhammad Rahmat Yananda & Ummi Salamah. Pembaca yang berminat memiliki buku ini, dapat melakukan order di link berikut;

https://www.tokopedia.com/ngobralbuku/ekosistem-inovasi-dan-kewirausahaan-rintisan     







Comments

Popular Posts