BOOK REVIEW: EKOSISTEM INOVASI DAN KEWIRAUSAHAAN RINTISAN


Haemiwan Fathony


Penyelenggaraan kawasan perkotaan secara kolaboratif berpotensi mengungkit potensi ekonomi berbasis pengetahuan (knowledge-based economy). Awalnya, tempat memiliki keunggulan karena posisi atau letak, sumber daya alam, dan kepadatan (pasar). Keunggulan tersebut tidak akan berkelanjutan jika para inventor atau inovator tidak dapat lahir, tumbuh, dan berinovasi menjadi entreprenur.






Kalimat tersebut dikutip secara verbatim dari halaman pertama kata pengantar sebuah buku berjudul Ekosistem Inovasi dan Kewirausahaan Rintisan; Belajar dari Pengalaman Pendiri-pelopor Perusahaan Rintisan Unicorn Indonesia, karya Muhammad Rahmat Yananda dan Ummi Salamah. Buku yang boleh dibilang merupakan “sekuel” dari disertasi Rahmat Yananda di Universitas Indonesia ini utamanya berupaya mengupas peran para entreprenur-pelopor atau yang popular dikenal dengan istilah para pendiri atau founders di dunia industri perusahaan rintisan (startup). Buku ini menyimpulkan adanya dua faktor kunci keberhasilan para founders unicorn dan decacorn Indonesia (1) : momentum yang pas  dan keuletan serta keberanian para founder tersebut (hal. xi). Para penulis juga menyatakan bahwa ekosistem ekonomi berbasis pengetahuan di kawasan perkotaan akan berkembang jika para founder startup berikutnya menjadikan problem sosial dan masyarakat sebagai tantangan yang perlu dicarikan solusinya dengan memanfaatkan berbagai solusi teknologi, khususnya deep technology. Ekosistem berbasis tempat tersebut akan tumbuh maksimal jika mampu mempromosikan para aktor, yaitu entreprenur atau lebih tepatnya urban entrepreneur.

Buku yang terdiri dari enam bab ini berupaya membahas secara runtut, termasuk memberi landasan konteks bagi pembaca yang awam tentang riwayat perkembangan teknologi informasi maupun riwayat berbagai perusahaan rintisan (startup) terkemuka. Sebuah langkah yang patut diapresiasi karena membuka ruang khasanah pembaca yang lebih luas, walau mungkin terasa membosankan bagi mereka yang sudah berkecimpung lama di industri tersebut. Bab pertama membahas mengenai revolusi digital, bab kedua dan ketiga membahas mengenai perusahaan-perusahaan rintisan kelas dunia, serta bab keempat mengenai ekonomi digital dan perusahaan rintisan di Indonesia. “Daging” dari bahasan buku ini ada di bab kelima (unicorn, organisasi eksponensial dan ekosistem) serta bab keenam (konstruksi ekosistem inovasi dan kewirausahaan rintisan Indonesia). Bagi mereka yang ingin langsung melompat ke Bab V dan Bab VI, disarankan untuk paling tidak membaca sekilas mengenai Bab IV yang mengupas tentang riwayat para unicorn di Indonesia. Ada beberapa insights dan “kejutan” terkait riwayat para perusahaan rintisan tersebut, yang mungkin berbeda dengan informasi yang selama ini beredar di berbagai media mainstream yang ada.






Mengingat inti pembahasan buku ini ada di dua bab terakhir, utamanya di bab keenam (terakhir), ulasan ini akan berfokus pada uraian yang ada di sana, khususnya mengenai ekosistem usaha rintisan. Sedikit banyak inti pembahasannya sudah tercermin pada kata pengantar yang dikutip pada awal tulisan ini. Kekuatan dan potensi ekonomi digital di Indonesia adalah pasar, khususnya pasar domestik (hal. 442). Kelemahan dan ancamannya datang dari kinerja ekosistem inovasi yang buruk (hal. 443). Tak kalah pentingnya, buku ini menekankan bahwa ekosistem inovasi  dan kewirausahaan Indonesia akan menentukan kemajuan  dan kelanjutan dari daya saing bangsa (hal. 444). Sejumlah argumen dikemukakann, termasuk paralelisasi dengan kondisi-kondisi yang ada di berbagai negara. 

Mengutip Cooke & Leydesdorff (2006), buku ini juga mengemukakan empat syarat kehadiran ekosistem tersebut: (1) regionalisasi pembangunan ekonomi, dimana terjadi interaksi dan integrasi proses inovasi; (2) tata kelola dan dukungan kebijakan yang memadai; (3)  infrastruktur pengetahuan yang baik, termasuk kehadiran dan peran perguruan tinggi dan lembaga riset; serta (4) keberadaan talenta berbakat yang tumbuh dalam lingkungan budaya yang kreatif dan terbuka. Harus diakui, paling tidak menurut buku ini, keempat syarat tersebut tidak semuanya ada di Indonesia. Kalau pun ada, tidak dalam bentuk yang maksimal (hal. 446 – 447). 

Sebagai praktisi industri, sulit rasanya untuk tidak menyepakati berbagai gagasan dan argumen yang ada di dalam buku ini, walau– istilahnya—with a pinch of salt, sehingga memunculkan berbagai catatan berikut ini;

Buku ini memulai dengan dua poin yang sangat baik bagi keberhasilan sebuah perusahaan rintisan: (1) momentum yang pas, serta (2) keuletan dan keberanian, atau saya lebih suka menyebutnya “nyali”. Ketika ditarik pada skala ekosistem, kondisinya juga sama: apakah momentum itu ada (atau bisa diciptakan) dan apakah para aktor di ekosistem tersebut (tidak cuma para founders-wannabe, tetapi juga kampusnya, industrinya, pemerintahan setempatnya, dsb) juga punya nyali? Apakah punya keberanian untuk melakukan inovasi, dan punya keuletan untuk jatuh dan bangun lagi? Jika hanya satu pihak saja yang punya nyali, apakah tidak cuma bertepuk sebelah tangan?

Pasar, mengutip grup band indie Efek Rumah Kaca, bisa diciptakan. Dalam membentuk konteks ekosistem berbasis kawasan yang diusulkan buku ini, apakah para pelaku (industri dan pemerintahan) di kawasan tersebut bisa menciptakan pasar untuk dimasuki oleh berbagai inovasi perusahaan-perusahaan rintisan? Atau sebaliknya para enterprenur muda tersebut dipaksa untuk mencari pasar dan berjibaku sendiri? Atau lebih parah lagi –diintip idenya untuk kemudian dijalankan sendiri. Walau pendekatan baptism by fire jamak dilakukan dan berhasil menghasilkan beberapa perusahaan rintisan terkemuka, penting untuk melihat bahwa berbagai inovasi penting di belahan dunia yang lain muncul dari pasar-pasar yang diciptakan, termasuk di masa-masa awal Silicon Valley. Sun Microsystem tidak akan menjadi besar tanpa peran Universitas Stanford dan kemudian penggunaanya yang massif di kalangan pendidikan tinggi, pemerintahan, dan militer di Amerika. Seperti banyak kebijakan di tahapan yang masih dini, langkah-langkah afirmasi dan preferensi mungkin diperlukan. Pendekatan tersebut pun masih berlaku pada saat ini untuk sektor-sektor yang tergolong baru inovasi teknologinya, seperti yang dilakukan pada Palantir dan Nutanix di Amerika, atau Darktrace dan Luminance di Inggris. Demam bank digital yang mendunia, selain diinisiasi di Cina juga banyak dipelopori di Eropa, khususnya di Inggris–dimana regulator dan pelaku industrinya mau berpikir terbuka dan membuka ruang-ruang inovasi yang lebar.

Buku ini juga mengupas, atau lebih tepatnya membuka harapan dan peluang, agar perguruan-perguruan tinggi di Indonesia mengambil peran penting dalam pembentukan ekosistem tersebut. Berbicara soal pasar, maka pertanyaan berikutnya bagaimana pengalaman industri yang ada di kawasan tersebut dalam melakukan reach-out ke kalangan kampus selama ini. Apakah hanya sekadar menjadi tenaga ahli (murah) atau sudah mengedepankan kolaborasi riset? Kondisi pandemi ini mungkin bisa menjadi momentum yang baik. Di Eropa, Astra Zeneca bermitra dengan Cambridge (untuk alat test) dan Oxford (untuk vaksin). Di Indonesia, berbagai kampus juga menggalang kerja sama industrial untuk memecahkan persoalan-persoalan yang ada. Sayangnya kondisi tersebut tidak dialami oleh Aruna dan iGrow misalnya, yang tidak mendapatkan gayung bersambut yang cukup dari industri perikanan di Indonesia atau pun industri pertanian di Indonesia. Selain itu, setelah Aruna atau iGrow “menetas” dari kampus masing-masing, tidak tampak adanya kemitraan berkelanjutan dari kampus masing-masing pendirinya untuk terus menerus menelurkan inovasi-inovasi yang berkelanjutan. Situasi ini tak ayal akan membuat para founders-nya memutar otak, termasuk pivot menjadi match-maker marketplace atau bahkan perusahaan pembiayaan. 

Mendekati kalangan kampus, termasuk para mahasiswa, memang juga membutuhkan nyali tersendiri bagi dunia usaha. Ekosistem “nyali kuat” tersebut tentunya tidak tumbuh begitu saja. Ada proses yang terbentuk, tidak hanya di kalangan perusahaan, investor, maupun para enterprenur, tetapi juga kalangan kampusnya. Andy Bechtolsheim, co-founder Sun Microsystem yang juga perancang Stanford University Network (cikal bakal Sun Microsystem), tidak berpikir panjang untuk menulis cek 100 ribu dolar ketika Sergey Brin dan Larry Page muda datang menemuinya. Selain karena terkesan dengan idenya, Andy juga sudah terbiasa dengan nyali besar untuk mengambil risiko dalam berinovasi.  Ketika investasi cepat tersebut kini berharga lebih dari setengah milyar dolar pun, Andy masih berpikir dalam kerangka give back untuk menumbuhkan bibit-bibit enterprenur muda di almamaternya.  Mundur ke 20 tahun sebelumnya, berbicara soal Sun Microsystem (dengan Andy Bechtolsheim, Scott McNealy, dan Vinod Khosla selaku para pendirinya), mungkin menarik untuk mencoba mengerti kenapa hal yang mirip tidak bisa terjadi pada para inisiator JUITA (Jaringan UI Terpadu) atau ITB-AI3, yang notabene merupakan pionir-pionir jaringan Internet di Indonesia 

Stanford memang pantas menjadi benchmark peran kampus dalam mengembangkan ekosistem seperti yang dibahas dalam buku ini. Siklus inovasi–industrialisasi di lembah silikon sudah menjadi DNA di kampus Stanford. Film seri Silicon Valley di HBO pun secara eksplisit mengakui hal ini (4). Mengutip syarat keempat keberadaan ekosistem ekonomi berbasis pengetahuan dalam buku ini, perlu keberadaan talenta berbakat yang tumbuh dalam lingkungan budaya yang kreatif dan terbuka (hal. 447). Penting digarisbawahi kata “tumbuh dalam lingkungan budaya yang kreatif dan terbuka”. Talenta berbakat saja tidak cukup.  Di Stanford, hal itu ditunjang adanya tata kelola yang baik dan jelas bagi semua pemangku kepentingan (syarat kedua dalam membentuk ekosistem ekonomi berbasis pengetahuan dalam buku ini). Ada aturan main yang jelas tentang keterlibatan dan timbal balik dalam pemanfaatan teknologi yang dihasilkan oleh insan-insan kampus (5). Di umumnya kampus di Indonesia, staf pengajar yang terlibat dalam penelitian industrial sering kali dicibir sebagai “sekedar mroyek” atau “tidak bagi-bagi”. Beberapa kampus di Indonesia bahkan secara spesifik menetapkan larangan bagi staf pengajar untuk memiliki perusahaan atau mengkomersialkan hasil penelitiannya. Semuanya harus disalurkan melalui administrasi kampus yang birokratis dan lamban dalam bergerak. Akibatnya skema-skema kerja di bawah tangan pun lazim ditemui di sini. Kondisi tersebut pada akhirnya hanya memberikan keuntungan-keuntungan yang sifatnya individual serta tidak bisa scalable dan membawa dampak yang lebih sistemik seperti membangun sebuah ekosistem.

Jika nyali untuk mendekat sudah ada, tentunya perlu timbal balik nyali yang kuat di sisi sebaliknya. Merujuk contoh iklim di Stanford dan berbagai kampus lainnya yang menelurkan banyak startup (misalnya MIT dengan Media Lab-nya(6)  atau Cambridge yang menelurkan Darktrace dan Luminace), adalah sebuah hal yang biasa saja ketika seorang faculty member meluangkan waktu atau bahkan mengambil libur sabatikal untuk mewujudkan gagasannya menjadi sebuah startup atau membina startups yang ada (7) . Nyali tersebut hanya muncul ketika ada iklim yang kondisi, iklim yang kreatif dan terbuka terhadap berbagai gagasan. Iklim yang membuka ruang untuk berpikir terbuka dan kreatif, sampai menembus batas-batas keilmuan saat ini, diperlukan untuk melahirkan inovasi-inovasi yang brilian. Bahkan dalam batas tertentu, terutama di tingkat peneluran gagasan, menerobos dan menyerempet batasan etika mungkin juga perlu diberi ruang. Sebagai contoh: holy grail semua ilmuwan di bidang kecerdasan buatan adalah membangun General Purpose Artificial Intelligence (GPAI), dimana mesin akan berpikir dan bertindak seperti layaknya manusia.  Dengan kata lain, kendati tidak atau jarang disampaikan secara terbuka, keinginan akhirnya adalah acting God, bertindak seperti Tuhan. 

Dalam skala yang lebih kecil, berpikir terbuka untuk mendisrupsi kondisi-kondisi yang ada, termasuk praktik-praktik teknologi yang sudah mapan, juga membutuhkan “nyali” tersendiri di kalangan ilmuwan kampus. Lepas dari segala kontroversinya, gagasan “satu ampul darah untuk banyak tes kesehatan” yang dilakukan Theranos mendapat dukungan dari para ilmuwan teknik kimia di kampus itu. Secara teoritis, pendekatan nano yang ditawarkan memang memungkinkan. Selanjutnya adalah masalah “nyali” untuk mencobanya di dunia nyata. Ketika Elizabeth Holmes kemudian memutuskan berhenti kuliah untuk mengurusi startup-nya, salah satu penasihat teknis di perusahaannya adalah profesor pembimbingnya. Bandingkan misalnya dengan founder dari kalangan kampus di Indonesia, yang banyak dicibir oleh para senior dan dosennya karena bermimpi tentang “sesuatu yang tidak mungkin” atau “melanggar kelaziman”. Tak heran kalau ada sinisme dari beberapa kalangan, bahwa ilmuwan kampus itu sering kali ibarat dokter yang tidak berani menyuntik atau bahkan memberi obat.  Cukup puas dengan kemunculan tulisan di berbagai jurnal ilmiah, tetapi melipir ke samping ketika ada kesempatan untuk menerapkan gagasan ilmiahnya itu ke dunia nyata.

Masalah nyali ini tentunya juga berlaku bagi para entreprenur muda. Dalam sebuah diskusi dengan para venture capital, salah satu concerns terbesar di dunia startups di Indonesia, umumnya para founders belum berani untuk fokus dan mencurahkan segenap energinya. Khususnya mereka yang masih kuliah atau baru lulus. Tak jarang para founders tersebut juga menyambi kerja untuk mendapatkan penghasilan yang layak. Kondisi tersebut tentunya juga tidak bisa dihindari karena ekosistem pendanaannya belum kuat. Di Indonesia, tidak banyak para senior seperti Andy Bechtolsheim. Juga tidak banyak orang seperti Eduardo Severin, yang memungkinkan seorang Mark Zuckenberg mewujudkan Facebook-nya.  Di sisi lain banyak investor di Indonesia, khususnya  yang berasal dari model investor tradisional, melihat dan meminta para founders mengorbankan pendapatan dan kehidupan pribadinya di masa-masa awal memulai usaha. Kadang mereka lupa bahwa tidak semua orang seperti Fery Unardi, yang hanya minta gaji setara UMR ketika mendapatkan investasi awal untuk Traveloka. Akan sangat lazim kalau anak-anak muda itu patah semangat di tengah jalan, ketika mereka tidak bisa hidup cukup layak seperti teman-temannya yang memilih lulus dan bekerja di perusahaan. Hal yang sama juga terjadi para founders perusahaan-perusahaan yang menjadi contoh di buku ini, dengan pengecualian bagi mereka yang sudah berasal dari keluarga yang secara ekonomi relatif mapan tentunya.

Berbicara soal pendanaan, selanjutnya menarik juga untuk melihat bagaimana rencana IPO para perusahaan rintisan yang sudah menjadi raksaksa akan mempengaruhi ekosistem ke depannya. Mengutip pernyataan Vinnie Lauria dari Goldel Gate Ventures (sebuah venture capital yang berfokus pada investasi dini/seed funding), para raksaksa itu akan menggeret (gobble-up)  para startup lain di wilayah Asia Tenggara (8). Secara khusus ia menyoroti kehadiran SEA (pemilih Shopee, sudah IPO), Grab (yang pasar besarnya ada di Indoensia), GoTo (rencana kombinasi Gojek dan Tokopedia pasca merger nantinya), Traveloka, Bukalapak dan juga OVO. Melantai di bursa akan memberikan mereka ruang permodalam untuk tumbuh, termasuk melakukan berbagai akuisisi. Menurut Lauria, kondisi itu lah persis terjadi di Cina 10 sampai 15 tahun yang lalu, di mana Baidu, Alibaba dan Tencent membeli berbagai perusahaan yang lebih kecil. Ekosistem startup di Asia Tenggara saat ini memasuki tahapan di mana beberapa investor merasa sudah waktunya untuk keluar dan memetik buah dari investasinya tersebut. Mungkin mereka tidak akan mendorong perusahaan go public secara langsung, namun akan sangat terbuka pada kemungkinan akuisisi oleh pemain yang lebih besar. Masalahnya, “pasar sekunder” tersebut selama ini tidak cukup kuat di sini, dan mungkin IPO para pemain besar itu akan membuka peluang tersebut. 

Menarik juga untuk melihat bahwa untuk konteks Indonesia (dan Asia), para grup usaha besar (baik konglomerat maupun BUMN) juga tergolong aktif dalam mengucurkan pendanaan bagi perusahaan-perusahaan rintisan. Di kalangan BUMN misalnya, paling tidak ada MDI Ventures (Telkom), BRI Ventures (Bank BRI) dan Mandiri Capital (Bank Mandiri). Dari kalangan grup konglomerasi besar ada Merah Putih Inc. (grup Djarum), SMDV (Sinar Mas), Astra Venture (grup Astra), ataupun Innovation Factory (grup Salim bersama Gree Ventures). Selain menyiapkan pendanaan mereka juga cukup aktif membangun eksosistem, utamanya melalui investasi dan kegiatan-kegiatan di berbagai co-working space yang ada.

Umumnya para pemodal besar tersebut, bersama para investor teknologi yang selama ini berkiprah seperti Kejora, East Ventures, Alpha JWC Ventures, atau Northstar, juga melirik para lulusan atau alumni perusahaan-perusahaan rintisan yang sudah ada, sehingga memunculkan istilah Gojek, Grab, dan Lazada mafia (8)  (seperti istilah PayPal mafia yang merujuk para alumni PayPal yang sangat mempengaruhi perkembangan Silicon Valley saat ini atau Baidu dan Tencent mafia yang berkontribusi sama di Cina). Pilihan lainnya adalah membiayai inisiatif rintisan yang ditelurkan para profesional di sektor industri masing-masing (seperti keuangan untuk fintech, atau logistik untuk hal-hal terkait supply chain management). Tentunya ini akan memunculkan pertanyaan penting mengenai relevansi infrastruktur pengetahuan berbasis kampus bagi ekosistem perusahaan rintisan di Indonesia. 

Yang terakhir, kendati buku ini mengangkat soal ekosistem berbasis kawasan, sayangnya juga tidak banyak pembahasan tentang inisiatif-inisiatif berbasis  kawasan yang ada dan pernah ada di Indonesia. Akan sangat menarik jika ada uraian kenapa Bandung High Tech Valley (BHTV) (10)  layu sebelum berkembang, atau kenapa Jogja Digital Valley ( dan Valleys lainnya yang diinisiasi oleh BUMN yang sama) kemudian lebih dipersepsikan sebagai ruang kerja bersama (co-working space) dan tempat mengadakan event semata. Termasuk tentunya menarik untuk melihat bahwa JDV hanya berjarak 750 meter, dua menit berjalan kaki, dari inkubator serupa yang didirikan oleh UGM. Sepintas lalu, kedua kota tersebut memiliki komponen-komponen yang diperlukan untuk membangun ekosistem tersebut seperti kampus yang berkualitas, dukungan pemerintah setempat, hubungan dengan industri (lewat jejaring alumni ITB dan UGM, maupun dukungan BUMN pada kasus JDV). Inkubator milik UGM bahkan selain mendapat dukungan kuat dari sebuah perusahaan teknologi layanan keuangan terkemuka, juga diinisiasi bersama Kibar Indonesia, salah satu inkubator perusahaan rintisan di Indonesia. Akan juga menarik untuk memahami kenapa Kibar memilih jauh-jauh ke Jogja, padahal lokasi kantor mereka di Jl. Raden Saleh, Jakarta Pusat hanya berjarak kurang lebih satu kilometer dari kampus UI di Salemba, Jakarta.

Berbicara soal ekosistem di wilayah Jakarta Raya atau Jabodetabek, akan menarik untuk meninjau kenapa kantong-kantong ekosistem perusahaan rintisan di wilayah ini tidak mendekat ke Depok atau Bogor, dan juga menarik untuk melihat kenapa para perusahaan pemodal perusahaan-perusahaan rintisan yang ada di Jakarta lebih menyukai untuk menempel di berbagai ruang kerja bersama (co-working space) di tengah kota Jakarta dari pada hadir di kampus-kampus yang ada di kawasan ini. Saat ini, ekosistem perusahaan rintisan paling terkemuka di Jabodetabek (dan mungkin di Indonesia) adalah ekosistem yang diinisiasi oleh Kejora Capital (11), sehingga memunculkan istilah “mendekat ke Slipi” di kalangan perusahaan-perusahaan rintisan yang ada (12).  Salah satu dugaan yang muncul adalah karena infrastruktur pengetahuan dan talenta di wilayah ini sudah tidak lagi didominasi kalangan kampus, namun justru sudah tersebar di seluruh penjuru kota. Lagi pula di ranah teknologi, batasan fisik sering kali sudah tidak relevan lagi. Tentunya ini memerlukan bahasan dan analisis yang lebih mendalam, yang barang kali bisa menjadi pintu bagi Rahmat dan Ummi untuk menghasilkan sekuel berikutnya dari buku ini. 


Haemiwan Fathony

Sekretaris Jenderal Ikatan Alumni Fakultas Ilmu Komputer Universitas Indonesia. Saat ini menjadi Managing Partner TEMUIDE, sebuah perusahaan inkubasi teknologi yang berfokus pada deep technology & impact investment, serta pernah memimpin Corporate VC di sebuah perusahaan teknologi regional.

 footnote

  1.  Tulisan ini dibuat dalam rangka bedah buku Ekosistem Inovasi dan Kewirausahaan Rintisan yang   diselenggarakan oleh ILUNI UI
  2. Buku ini utamanya mengupas empat perusahaan rintisan di Indonesia: Bukalapak, Gojek, Tokopedia, dan Traveloka.
  3. Lihat Q&A with Stanford faculty on Silicon Valley | Stanford News
  4.  Lihat For Faculty: Best Practices for Start-ups | Office of Technology Licensing (stanford.edu)
  5. Per September 2019, ada lebih dari 100 perusahaan yang dilahirkan dari MIT Media Lab (sumber: Spinoff companies — MIT Media Lab)
  6. Perlu diingat bahwa kultur ini tidak hanya ada di bidang teknologi. Mike Mangini, drummer grup band Dream Theater adalah mantan pengajar di Berklee College of Music yang terkemuka itu.
  7. Lihat Grab, GoTo, Sea could 'gobble up' start-ups in Southeast Asia: VC (cnbc.com)
  8. Lihat Uncovering Southeast Asia’s hidden Grab and Gojek mafia - Tech in Asia dan Meet the growing ranks of Lazada mafia (techinasia.com)
  9. Situs BHTV saat ini sudah almarhum, namun sekilas rekam jejaknya bisa dilihat di: https://web.archive.org/web/20071013044411/http://bhtv.or.id/ 
  10. Antara lain berinvestasi di SiCepat, Investree, Kredivo dan Dekoruma.
  11. Kantor Kejora Capital berlokasi di Jl. S. Parman, Slipi, Jakarta.

Pembaca yang berminat untuk memiliki buku Ekosistem Inovasi dan Kewirausahaan Rintisan, dapat melakukan pemesanan di sini: https://tokopedia.link/lW52tQJgLcb





Comments

Popular Posts